Eunwoo
[ASTRO] and Rin [OC] | Comfort | G |
Oneshot
©2016 Aitadikasa Story | Alkindi @Poster Channel
©2016 Aitadikasa Story | Alkindi @Poster Channel
“Suatu saat, manusia akan merasa sendirian dan
hidup dalam kenangannya..
.
Eunwoo membuka mata
gelisah. Obsidiannya melirik jam di atas meja. Sudah pukul dua dini hari, namun
ia belum juga bisa terlelap walau sedetik. Tangannya pun menyibak selimut lalu
menurunkan kaki ke lantai, menuju jendela.
Langit nampaknya mengerti bagaimana perasaan Eunwoo.
Bentangan biru pekat itu tak sedikitpun menunjukkan kemewahannya. Bintang tak
sudi menemani sang rembulan yang mulai terhalang awan. Bahkan untuk malam ini,
mereka enggan menitipkan cahaya untuk seorang pemuda yang tengah terselubung
kabut.
Desahan napas putus asa terembus dalam kesunyian malam.
Eunwoo menutup gorden, menghalau candra maupun gemintang mengintip
kesedihannya. Ia terduduk di tepi ranjang. Pandangannya buram terlapis basahan
bening. Seketika otaknya terputar mengenang peristiwa demi peristiwa yang ia
lalui bersama seorang gadis.
Pagi
itu Eunwoo datang agak terlambat. Ia bergegas masuk ke kelas dan untungnya
belum ada guru yang masuk. Detik itu juga, Eunwoo menghela napas penuh syukur
lantas duduk di bangkunya.
“Eunwoo,
kau membuat surat ini?”
“Tidak.
Memangnya kenapa?”
“Oh
ya? Tapi di sini tertulis namamu.”
Eunwoo
mengambil amplop putih yang disodorkan Hana—teman sekelasnya yang baru-baru ini
menyatakan perasaan padanya. Ada nama Eunwoo di tengah amplop yang membuatnya
mengernyit. Untuk menjawab rasa penasarannya, lelaki itu pun membuka amplop dan
menarik secarik kertas dari dalam.
“Meski lantang kuucapkan, apa kau akan
mendengar? Memang tak ada hak bagiku untuk memintamu membalas, namun tak
bisakah kau melihatku barang sedetik?
“Di
mana kau temukan surat ini?”
“Di
mejaku. Kenapa?”
“Sepertinya
ada orang iseng yang membuat surat ini untukku, tapi salah meletakkannya.
Tolong jangan salah paham ya, Hana.” Kemudian Eunwoo tersenyum pada gadis itu.
Dalam hati ia membatin sebal, siapa sih yang kekanak-kanakan membuat surat
cinta seperti ini?
-*-
Saat
itu, Eunwoo tengah berlatih dance. Hari sudah sore, sekolah pun terasa sepi. Paling
hanya satu-dua siswa yang masih tertahan karena belum dijemput. Tiba-tiba gadis
itu datang tanpa permisi dan langsung menyoraki Eunwoo.
“Kau
mengagetkanku tau,” ujar Eunwoo sembari mematikan musik dan menenggak air
mineralnya.
“Hehe,
sori, Kak. Oh iya, ini ada cake buat Kak Eunwoo.” Gadis itu menyerahkan kotak
bekal berwarna biru laut sambil menyunggingkan seulas senyum manis. “Aku masak
sendiri loh, Kak. Yah, walaupun dibantuin Mama dikit hehe. Jangan lupa dimakan
ya, Kak? Cake ini aku bikin khusus buat Kak Eunwoo.”
“Hm,
letakkan di meja, nanti akan kumakan kalau sempat.”
Biasalah,
orang ganteng banyak yang nge-fans, batin Eunwoo bangga.
-*-
Selain
dance, Eunwoo lumayan jago main basket. Itulah alasan kenapa ia dipilih untuk
jadi kapten tim basket kelasnya dalam kegiatan pertandingan basket untuk
mengisi free-class.
Saat
masuk ke lapangan, ada seseorang yang begitu lantang menyoraki nama Eunwoo
sampai laki-laki itu merasa risih. Sebabnya, sejak masuk lapangan hingga
pertandingan berakhir, orang itu terus melengkingkan suaranya. Mungkin dia
pikir Eunwoo akan senang, padahal sebaliknya.
“Kak
Eunwoo, semangat!! Fighting fighting fighting! Eunwoo Oppa pasti bisa!”
“Wohoo!
Kak Eunwoo!!”
Ah,
cewek itu lagi, batin Eunwoo malas.
-*-
Eunwoo
termasuk jajaran siswa yang bertanggung jawab dalam ekskul dance. Ia wajib
meluangkan waktu untuk melatih adik-adik kelasnya walaupun ia sendiri sudah
kelas tiga dan seharusnya fokus pada ujian.
“Semua
sudah datang?” tanya Eunwoo ketika baru saja menginjakkan di ruang latihan.
“Sudah,
Kak. Tadi aku sudah ngabarin semuanya supaya tidak terlambat.”
“Bagus
kalau gitu, kita mulai sekarang ya?” ujar Eunwoo pada seluruh siswa-siswi yang
datang. Ia hendak berjalan ke tengah, namun tertahan karena seorang gadis
memanggilnya.
“Kak
Eunwoo,” panggil gadis itu malu-malu. Eunwoo menoleh padanya. “Hari ini Kak
Eunwoo keren!” ujarnya sembari mengacungkan kedua jempol.
Eunwoo
terdiam lantas berlalu. Apa-apaan sih anak itu? Norak banget.
-*-
Eunwoo
duduk di tengah lingkaran yang dibuat oleh anak-anak dance. Mereka sedang
membicarakan koreografi yang akan dipakai dalam perform pentas seni bulan
depan. Akan tetapi Eunwoo merasa amat risih dan ingin mengumpat karena dilihati
berlebihan oleh seorang cewek.
Sekuat
tenaga, Eunwoo menahan diri. Hingga akhirnya setelah rapat itu selesai, ia
menemui gadis itu untuk bicara.
“Dek,
ada yang mau aku bicarain sama kamu.”
“Ada
apa ya, Kak?” Pipi gadis itu memerah, membuat Eunwoo merasa jengah. Pasti gadis
itu berfikir yang tidak-tidak, contohnya: mungkin Eunwoo akan menembaknya.
“Dari
tadi aku rasa, kamu terlalu berlebihan ngelihatin aku.”
“Ha?
Oh itu.. Kakak merasa nggak suka ya?”
“Ya
jelaslah. Risih banget kalau ada yang berlebihan begitu.”
“Oo..
maaf, Kak. Nggak akan saya ulangi.”
Gadis
itu pun pergi setelah mendapat tatapan garang dari Eunwoo.
-*-
“Halo
Kak Eunwoo,” sapa seorang gadis yang membuat Eunwoo menghentikan langkahnya.
Gadis
itu lagi.
“Hai,”
balas Eunwoo, mencoba berbasa-basi supaya namanya tak tercemar. Ia enggan
mendengar berita ‘seorang Eunwoo itu sombong’ seperti waktu itu.
“Nanti
ada latihan dance nggak, Kak?”
“Iya
dong. Jangan terlambat ya?” Eunwoo tersenyum sebelum kembali berjalan.
“Uwaa!
Kak Eunwoo ramah banget! Yaampun, sumpah dia itu gantenggg.” Terdengar seruan
itu yang menelusup gendang telinga Eunwoo, yang membuatnya bergidik geli.
Eunwoo menghapus linangan air mata yang telah menganak
sungai di wajahnya. Dadanya terasa sesak ketika udara mendesak masuk ke rongga
paru-paru. Semua terasa amat menyakitkan untuk dirasakan. Penyesalan yang tak
pernah memberi tahu akan menghempas kebahagiaan ke dasar jurang.
“Kak
Eunwoo, tunggu sebentar. Ada yang mau aku omongin.”
Eunwoo
menahan langkah dan berbalik kembali, menemui seorang gadis bersurai cokelat di
dasar tangga.
“Ada
apa?”
Gadis
itu memilin jemari gelisah. Eunwoo hanya diam memandangnya, memilih menunggu
daripada gegabah dan menyudutkannya.
“Aku..
aku cinta Kak Eunwoo.”
Eunwoo
tak berkedip, tubuhnya seolah membatu. Tak ada satupun bagian yang bergerak,
seakan waktu telah memberhentikan segalanya.
“Besok
adalah hari kelulusan Kak Eunwoo.. itu berarti kemungkinan untuk bertemu Kakak
sangat kecil. Maka dari itu.. kuputuskan untuk mengakuinya.” Kepala gadis itu
terangkat sedikit, memandang sosok lelaki jangkung yang berdiri di anak tangga
kedua darinya.
“Aku..
nggak akan berharap lebih. Jadi.. Kak Eunwoo jangan merasa terbebani.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Eunwoo merasakan
gejolak dalam dada yang begitu kuat mengobrak-abrik jiwanya. Kegugupan begitu
terasa walau tak diminta. Jantungnya berkontraksi tak semestinya, begitu cepat
dan mendebarkan.
Hati bertanya, apakah kau menyukainya? Apakah kau akan
menerimanya atau mengecewakannya?
Akan tetapi tak sebegitu mudahnya untuk menjawab. Untuk
pertama kalinya, Eunwoo dirundung perasaan bimbang. Ia terus dihantui oleh
gadis itu, pernyataan cintanya yang tiba-tiba.
Apakah benar selama ini kau tak menyukainya?
Renungkanlah bersama debaran jantungmu itu, Eunwoo. Ini pertama kalinya ada
gadis yang berani menyatakan perasaannya padamu. Itu berarti, gadis itu sungguh
menyukaimu kan? Apa kau yakin akan membuatnya kecewa dan sakit hati?
Senin,
tepat dua hari setelah perayaan kelulusan, Eunwoo menemui gadis itu. Setelah
melakukan renungan panjang yang menyiksa, hari ini Eunwoo akan memberikan
jawaban pasti yang telah dimantapkan oleh sang hati.
“Aku
akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga hatimu.”
Ia
percaya, sang bayu tak mungkin salah menyampaikan ke rungu. Namun tetap saja,
rasanya sulit untuk menerima jawaban mengejutkan itu.
Eunwoo
tersenyum. “Aku sungguh akan berusaha.”
“Kak
Eunwoo… serius?”
Eunwoo
mengangguk lantas mengusap puncak kepala gadis itu. Awalnya terasa canggung itu
wajar kan?
“Aku
nggak apa-apa kalau Kak Eunwoo menolak. Aku nggak mau Kak Eunwoo merasa
terbebani. Sungguh aku akan baik-baik aja walaupun Kak Eunwoo tak menerima
perasaanku.”
“Kamu
tak tahu maksud ucapanku, ya? Kan sudah kubilang, aku akan berusaha menjaga
hatimu. Itu artinya aku menerimamu kan? Tapi kenapa kau ingin aku menolaknya,
hm? Apa kau menyesal karena sudah menyatakan perasaan padaku?”
“Tidak,
bukan begitu, Kak. Aku hanya.. hanya tak bisa mempercayai ini. Aku.. aku merasa
sangat bahagia. Terima kasih, Kak.”
“Hei,
jangan menangis. Bisa-bisa ada yang mengira aku melakukan sesuatu hal buruk
padamu. Berhentilah,” ujar Eunwoo sembari menenggelamkan kepala gadis itu ke
pelukannya.
-*-
Hubungan
itu berlanjut hingga terjalin selama delapan bulan. Awalnya Eunwoo masih ragu
dengan perasaannya, karena pada minggu-minggu awal pacaran, ia masih merasa
kurang nyaman. Namun ketika bulan berganti, perasaan Eunwoo mulai mekar. Mungkin dulu ia
memang merasa risih karena gangguan-gangguan gadis itu, sekarang tidak lagi.
Bahkan Eunwoo juga tidak tahu sejak kapan hatinya berdebar karena gadis itu.
Yang jelas, sekarang ia merasa sangat nyaman dengannya. Mereka juga jarang
bertengkar.
“Sepertinya
ponselku tertinggal.”
“Yang
benar? Coba dicek lagi.”
“Tidak
ada. Pasti tertinggal di tenda makanan bibi itu.”
“Dasar
ceroboh! Kalau begitu biar aku yang ambil, kau tunggu di sini, aku akan segera
kembali,” ujar Eunwoo sembari mengusap puncak kepala gadisnya.
“Ok.”
Eunwoo
menyeberang jalan, kembali ke tenda biru yang tadi menjadi tempat singgahnya
untuk makan malam. Memang benar, ponsel itu tertinggal di sana. Untunglah
pemilik kedai itu berbaik hati mau menyimpannya dulu. Eunwoo menggelengkan
kepala, kadang kekasihnya itu bisa menjadi super ceroboh.
Langkah
Eunwoo terhenti ketika lampu lalu lintas sudah berganti warna. Ia melambai pada
kakasihnya yang setia berada di seberang jalan.
“Rin!
Ponselmu ketemu!” teriak Eunwoo.
“Benarkah?
Makasih ya!”
“Tunggu
aku di sana, aku akan menyusulmu!”
Gadis
bermata belo dengan manik caramel itu tersenyum jenaka kemudian berteriak, “Kak
Eunwoo, aku mencintaimu!”
Meski
merasa geli, Eunwoo pun mengangguk dan tersenyum. “Aku lebih mencintaimu! Dan
aku bersyukur karena memilikimu, Rin!”
Lampu
telah berganti warna.
“Biarkan
aku yang berlari padamu, Kak! Kak Eunwoo tunggu aku di sana, ya?!”
“Aku
saja yang ke sana!” Namun terlambat, gadis itu sudah berlari menyeberang jalan
dengan rona bahagia yang menghiasi wajah manisnya.
Eunwoo
tersenyum. Kadang Rin memang kekanak-kanakan dan keras kepala, tapi tetap saja
menggemaskan. Sedikit lagi gadis itu akan menghampirinya. Tanpa sadar, Eunwoo
sudah merentangkan tangan untuk menyambut gadis itu dengan pelukan.
“Kak
Eunw—“
—BRAK!
Dwinetra
Eunwoo membelalak sempurna. “RINN!!”
Air mata telah mengering tertiup angin. Eunwoo duduk
menyangga kepala yang terasa amat berat dengan kedua tangan. Tak lagi terjatuh
di wajahnya, barang setitik air mata. Rasanya semua telah mengering tak tersisa
di dasar luka.
Kenangan itu tergali begitu cepat hingga meruntuhkan
dinding pertahanan yang susah payah dibangun oleh hati malang yang terluka.
Ketidakberdayaan mengungkung jiwa Eunwoo dalam penyiksaan yang disebut
perpisahan.
Eunwoo memikirkannya
dengan perasaan itu, yang menciptakan sebuah harapan menjadi menyakitkan. Ia
ingin bertemu, ingin mendengar gadisnya mengatakan ‘I love you’ seperti kala
itu. Dalam tidur malam yang tak dapat dilaluinya dengan tenang, lagi dan lagi,
Eunwoo ingin merasakan kehadiran kekasihnya.
“Jika pada akhirnya aku mampu
melupakannya, maka hidup adalah hal yang mudah..
Jika aku melupakan segalanya, bukankah itu
melarikan diri?
Bahkan arti kehidupan ini juga akan
menghilang, iya kan?
Suatu saat, manusia akan merasa sendirian
dan hidup dalam kenangannya..
Meski begitu, tidak masalah, aku
menyerukan yang disebut cinta dengan perasaan damai..
—FIN
0 Response to "Terjebak Nostalgia"
Post a Comment