Broke Up - 03



Broke Up



Rasa yang telah kusimpan lama,
tak berarti meski lara.
Hanyut dalam kesendirian,
dicumbu perasaan cinta tak keruan.
Semu yang tak pernah sampai ke tuju,
bagai engkau tak merasa keliru.
Seisi bumi tak merestui kami,
lantas mengutus cinta dan waktu mempermainkan isi hati.


Bagian 03

Fokus ke #TaeyongJoy



LANGIT sudah menggelap seiring menuanya hari. Jam dinding sudah menunjuk angka delapan lebih lima menit. Meski begitu, sama sekali tak menyurutkan kehebohan di ruang tamu.

Ada lima seorang pemuda yang asik bercanda ria sembari mencomot berbagai macam cemilan. Mereka adalah teman Doyoung. Yang di antaranya ada Taeyong, Jaehyun, Taeil, Ten, dan Yuta.

Mereka datang ketika jam menunjuk angka enam, ketika senja perlahan memudar. Sedang saat itu, Joy tengah gabut dan menghabiskan waktu di kamar untuk tidur dan berkhayal ria.

Semakin larut, candaan teman-teman Doyoung semakin bersemangat dan semakin mengusik ketenangan Joy. Makanya, gadis itu terbangun dari alam mimpinya. Merasa pening karena kebisingan itu.

Joy memijit kepalanya yang berdenyut-denyut. Kemudian memutuskan keluar, menuju kamar mandi untuk cuci muka dengan kondisi setengah sadar.

Karena sambil memejamkan mata, Joy malah nyasar ke ruang tamu dan menjadi tontonan teman-teman Doyoung. Awalnya suasana menjadi hening karena sibuk mengamati muka Joy yang super absurd lalu berubah menjadi gema tawa. Ketika itulah, Joy baru sadar kalau ia diketawain dan dipermalukan.

 Asli, malu.

“Siapa lo itu, Young? Ngakak sumpah.”

“Adek lo, ya?”

“Eh buset, rambutnya udah kayak singa bangun tidur aja dah.”

“Bangun tidur, neng?”

“Eh cakep, lumayan. Embat ae dah hahaha.”

Saking malunya, Joy langsung ngacir ke belakang sambil menutupi wajahnya yang merona. Malu banget, Ya Tuhan. Masuk di kamar mandi, ia langsung merutuki dirinya yang lain yang ada di dalam cermin.

“Bego banget deh gue! Ini kaki ngapa malah jalan ke ruang tamu si ah,” gerutunya.

Setelah mencuci muka dan melampiaskan rasa malunya di depan cermin, Joy membuka pintu. Eh, ada seorang cowok bak malaikat yang turun dari negeri anime sedang berdiri di hadapan Joy dengan ekspresi muka polos.

Ngegemesin euy, siapa ini mah? Cakep.

“Adeknya Doyoung yang baru bangun tidur tadi ya?”

“Ha?” Joy linglung karena masih terpesona dengan ketampanan pemuda itu.

“Yang tadi ke ruang tamu kan?”

“I-iya.”

“Nih, jepit rambut lo jatuh.”

“Oh, iya, makasih.”

“Sama-sama. Gue Taeyong, panggil aja TY, nggapapa.”

“Oh iya, Joy, sepupunya Doyoung,” sahutnya sambil menjabat tangan pemuda itu.

“Oh sepupu. Btw nama lo bagus. Artinya kegembiraan kan?”

Joy tersenyum simpul seraya menganggukkan kepala.

“Oya, btw nih, lemari makanan di mana ya? Disuruh Doyoung ngambil snack lagi soalnya.”

“Oh, biar saya ambilin aja.”

Joy melangkah melewati Taeyong untuk ke dapur yang memang dekat dari kamar mandi. Ia berjingkat untuk membuka lemari kecil di atas rak piring.

Karena pendek, Joy nggak bisa meraih gagang lemari. Abis, biasanya ia akan minta tolong ke Doyoung juga sih.

Sebuah lengan terulur di samping kepala Joy, meraih engsel dan membuka lemari. Ketika Joy sedikit menoleh ke belakang, terpampang nyata ciptaan Tuhan yang sempurna bak bayangan ilusi.

Wajah Taeyong hanya berjarak sekian senti dari wajah Joy.

Ketika Joy terjerat pada kesempurnaan bentuk wajah cowok itu, Taeyong mundur karena sudah mengambil beberapa snack dari lemari. Dan menyadari tatapan aneh kagum dari Joy.

“Gue emang ganteng. Biasa aja kali ngeliatnya.”

Joy tersadar. “Gu-gue nggak kok. Idih, GR banget lo,” jawabnya tergagap.

“Hehe, iyain deh. Biar nggak salting.”

Joy sedikit membuang muka karena pipinya terasa memanas.

“Ehehe, makanya kalo nggak nyampe, jangan sungkan buat minta bantuan dong,” nasihat Taeyong seraya meraih tangan Joy dengan senyum isengnya.

Joy salah tingkah,
Ini cowok baru juga kenal, udah megang tangan aja deh. Mau nepis, tapi sayang ehe.
namun ternyata..

“Nih, lo bantuin gue bawain snacknya ya. Banyak bats nih.”

Sejak itu, Joy baper. Dan berakhir dalam mencintai Taeyong diam-diam. Klise emang.

***

SIANG ini, matahari bersinar sangat panas dan sangat menyengat. Joy masih berada di kampus karena ada mata kuliah wajib yang nggak boleh absen sekalipun. Sebelum masuk ke kelas, ia menyempatkan pergi ke kantin untuk membeli minuman dingin.

Nyatanya, pergi ke kantin justru menciptakan panas yang lain.

Panas di hati, pikiran, setiap aliran darah yang berdesir, serta setiap detak jantung yang membara.

Irene sedang duduk berdua dengan Taeyong di sudut kantin. Mereka terlihat sangat bahagia ketika sedang tertawa begitu. Irene terbahak lalu Taeyong mengusap puncak kepalanya.

Joy pun memilih pergi saja.

Daripada mati karena terbakar api cemburu dan api kekesalan?

***

SEBELUM selesai kuliah, Joy mengirim pesan ke Taeyong lewat Line. Mengajak bertemu untuk membicarakan masalah hubungan nggak jelas antara Doyoung-Irene-Taeyong-Joy.

Joyprk : te, sibuk?
TY: gak. Knp?
Joyprk: bisa ketemu?
TY: ok. Jam set3 ya. Gw selese kuliah
Joyprk: ok. Ntar w ke fakultas lo deh ya
TY: di tongkrongan depan kmps ae
Joyprk: serah lo deh
TY: mau ngp si?
Joyprk: lo dateng ae pokoknya. Ntr w kasi tau.
          Read.

Joy memasukkan ponselnya ke saku celana jins. Sebentar lagi sudah jam dua, tepat ketika matkulnya selesai. Ia akan langsung ke sana dan menunggu Taeyong.

***

BOSAN. Joy sudah menunggu selama satu setengah jam di tongkrongan depan kampus. Sampai ia memesan minum dua kali dan satu makanan ringan.

Dengan gemas, ia melirik arloji. 3.50 pm.

Joy juga sudah mengirim pesan. Boro-boro dibales, diread aja enggak.

LINE!

TY: sry. mendadak ada kprluan gw
Joyprk: gila! Gw nunggu stu set jm
TY: sori bats joy. Ntar lagi gw nyampe deh. serius
Joyprk: cpt gpl woi anjeng
TY: iya ini otw.
Joyprk: ngapain si lo mangnya?
TY: abis ngantr Irene ke tokobuku abis itu nganterin plg

Fak. Ternyata karena Bae Irene. Kurang ajar emang ya itu anak.

Lima belas menit kemudian, Taeyong tiba di Es Grim House depan kampus.

“Sori, Joy. Gue traktir deh.”

Joy menghela napas pasrah. “Gue cuma mau ngomong sama lo, Tae. Sebegitu nggak pentingnya ya arti gue buat lo sehingga lo lebih milih nganter Irene?”

Taeyong membeku. Tak merespon.

“Bisa kan line gue lo bales? Susah ya buat lo sedetik aja nggak ngeliat wajah Irene sampai lo nggak bisa berpaling sekadar ngeread pesan gue?”

Taeyong diam. Memang baginya, Irene adalah prioritas. Yang kalau sedang bersama gadis Bae itu, ia tak boleh melirik hal lain. Harus fokus pada Bae Irene saja. Egois? Memang.

Cinta itu egois. Membuatmu terlalu fokus dan memprioritaskannya di atas segala-galanya. Membuatmu lupa, ada orang lain yang menunggumu.

“Gue emang nggak secantik dan sesupel Irene. Gue nggak bisa merebut hati lo hanya dengan sapaan manis dan senyum simpul. Tapi apa susahnya sih buat lo yang setidaknya memberi gue lima persen aja ruang di hati dan pikiran lo itu?

“Tae, lo tau kan Irene itu pacarnya Doyoung? Lo tau kan, mereka belum putus?”

Taeyong menelan saliva. Iya, gue tau. Jangan ingetin gue tentang hal itu!

“Terus kenapa lo deketin Irene, manjain dia, jagain dia, nemenin di ke mana-mana seolah lo itu pacarnya? Lo pengen ngegantiin posisi Doyoung?”

“Gue—“

“Lo egois. Nggak berperasaan. Pager makan taneman. Busuk.”

Taeyong melenguh, “Gue nggak bisa bohongin hati gue. Ya, gue emang suka sama dia dan gue tahu dia udah berpasangan. Tapi.. seberapa keraspun gue mencoba, gue nggak bisa berpaling darinya walau sedetik. Gue udah jatuh cinta sama dia tepat ketika first sight.”

“Sampai membuat lo buta kalau di sini masih ada cewek single yang setia menanti lo. Yang nunggu lo sadar, kalau lo nggak perlu ngerebut pacar orang.”

Taeyong menatap wajah Joy yang berekspresi serius. Padahal gadis itu tak pernah memasang raut seserius ini.

“Jadi, gue salah? Gue salah kalau gue mau memerjuangkan cinta gue buat dia?” nada bicara Taeyong sedikit meninggi.

“Salah! Karna cewek yang lo suka itu adalah pacar temen deket lo sendiri. Dan mereka belum putus. Tapi lo masuk di antara mereka. Lo jahat.”

“Faktanya, kalau hubungan mereka baik-baik aja, gue nggak akan bisa menembus masuk. Tapi apa? Gue bisa berdiri di antara mereka. Berarti hubungan mereka nggak cocok, sampai membuat Irene lebih nyaman sama gue daripada sama cowok—yang ngaku sebagai pacarnya itu,” ujar Taeyong sinis.

“Lo bangsat.”

“Coba lo tanya sama Doyoung, apa dia udah bisa bahagiain Irene atau belum. Jangan nuduh gue yang enggak-enggak dulu sebagai orang ketiga. Liat dong gimana sikap Doyoung ke Irene. Mesra? Romantis? Enggak! Doyoung terlalu banyak bercanda, dan semua candaannya jayus. Irene mana betah? Cewek itu suka sama cowok yang cuek, tapi romantis, yang bisa ngerti apa keinginan cewek.”

Joy meremas ujung rok putihnya. Gemas. Geram. Muak.

“Kenapa? Omongan gue bener kan?”

“Ternyata selama ini gue salah dalam menilai lo! Lo itu bertopeng! Keliatannya aja baik, tapi dalemnya busuk!”

Taeyong mendecih. “Orang bisa berubah karena hal-hal tertentu. Dan gue berubah, untuk memperjuangkan cinta gue. Gue menjadi tangguh untuk mempertahankan cewek yang gue suka.”

“Itu bukan cinta namanya!” tepis Joy. “Lo cuma terbelenggu pada hawa nafsu!”

Taeyong mengangkat sebelah alisnya.

“Cinta dengan ambisi super besar kayak punya lo, nggak akan bertahan lama. Gue jamin itu.”

“Yaya, terserah apa kata lo.”

“Justru cinta tanpa ambisi yang mengalir seperti air yang akan membuat lo bahagia, lengkap, dan menenangkan. Cinta penuh ketulusan, kesabaran, dan kesetiaan. Bukan yang menggebu-gebu, tapi semu.”

“Maksud lo, orang itu adalah elo gitu?” tebak Taeyong muak.

Joy diam. Enggan membalas. Karena setiap huruf yang keluar dari bibir lelaki itu terasa amat menyakitkan seperti racun yang membunuh secara perlahan, penuh siksaan.

“Elo itu sama kayak Doyoung. Nggak bernilai, pasaran, nggak menarik, dan membosankan. Cih, jadi jangan berharap apapun sama gue! Cukup lupain semua yang pernah terjadi di antara kita. Anggap hal itu nggak pernah ada. Gue pergi.”

Taeyong menggeser kursi, memberi celah untuknya lewat. Ia pergi, membekaskan luka di hati.

Joy membatu di kursinya. Syok mendengar ucapan Taeyong yang terlewat sadis.

Bukan salah hati mengapa ia begitu naïf dalam menanti.
Bahkan ia sendiri tak ingin hal itu terjadi.

Sebegitu polosnya hingga terjeruji pada bayangan semu tentang kamu.
Semua itu ilusi, fatamorgana, yang tak pernah tergapai olehku.

Kamu itu semu. Tak teraih.

Jadi, sebelum aku terjatuh kedua kali,
lebih baik aku undur diri.


-tbc.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Broke Up - 03"

Post a Comment