Broke Up
Bagimu, aku hanyalah persinggahan semu,
yang kan kau tingallkan ketika selesai bertamu.Bukan salah cinta mengapa ia begitu tergesa,
mengambil kesempatan tanpa ingat dosa.
Salahkan waktu yang datang mendesak,
tanpa pandang ada yang terusak.
Bagian 04
Fokus ke #DoyoungIrene
SELESAI mata kuliah wajib, Doyoung pergi ke
fakultas sastra. Mendatangi sebuah kelas yang baru saja usai dan mengeluarkan
dosen wanita.
Pemuda Kim
itu tersenyum menyapa dosen sebelum membuka pintu dan menelusur isi kelas,
mencari seorang gadis. Ya, siapa lagi kalau bukan pacarnya—atau bukan. Well,
hubungannya dengan Irene memang di ambang kehancuran.
Ia menghampiri
Irene yang duduk di dekat jendela. Btw,
semenjak keributan antara Joy dan Irene tempo hari, kini mereka tak pernah
bersama lagi. Masing-masing sudah menemukan teman baru. Irene dengan Wendy
sedangkan Joy dengan Seulgi. Joy cerita padanya tentang hal ini.
Yah,
Doyoung tak terlalu heran dengan pertengkaran perempuan sih. Mereka memang
betah berlama-lama musuhan tanpa alasan yang cukup kuat. Lantas membakar
kenangan tanpa mau ingat. Padahal dulu saling membutuhkan dan saling terikat.
Joy sempat
menangkap keberadaan Doyoung, ia kira hendak menjemputnya. Tetapi Doyoung segera
memberi kode bahwa ia hendak berbicara dengan Irene. Joy memutar bola mata
malas, nggak minat. Tapi tetap mengangguk, mencoba mengerti.
“Ren, aku
perlu ngomong sama kamu,” ujar Doyoung sambil tersenyum.
Bayangkan,
betapa baiknya seorang Kim Doyoung yang masih bisa tersenyum ramah meski ia
justru disakiti oleh cewek itu!
Cowok itu
tangguh.
Covernya doang sih.
Dalemnya mah, rapuh.
“Apa?”
“Empat mata,
bisa?”
Irene
terdiam sejenak. Merasa canggung. Kaku.
Karena
sudah sekitar seminggu ini, hubungan Irene dan Doyoung tidak baik-baik saja.
“Ok. Wen,
gue duluan ya. Sori nggak bisa bareng lo,” pamit gadis Bae itu pada teman
sebangkunya.
“Iya, Ren,
nggapapa.”
Lalu Irene
mengekori Doyoung keluar kelas.
“Kita
sekalian mampir ke kafe biasanya, ya? Udah lama kita nggak ke sana,” ujar
Doyoung sembari sedikit menelengkan kepala ke belakang.
“Hm, iya
deh. Loh, kok berhenti?”
“Sini dong,
jalan di samping aku. Kita kan pacaran, masa jalan depan-belakang? Udah kayak
majikan sama sopirnya aja.”
Irene
merasa gagu ketika mendengar kata ‘pacaran’.
Memangnya
mereka masih pacaran? Padahal udah seminggu nggak berhubungan?
Oh iya,
Irene lupa. Doyoung kan masih berusaha menghubunginya, hanya saja ia terlalu
fokus sama Taeyong. Jadi, nggak sempat sekadar membalas pesan atau mengangkat
telepon dari Doyoung.
Irene
tersenyum, “Iya ah, bawel.”
Lalu Irene
berjalan cepat menyusul Doyoung.
Doyoung
juga tersenyum. Lalu mengelus puncak kepala Irene gemas.
Kamu harus
tahu,
aku rindu masa-masa bersamamu.
Ketika tiada orang ketiga,
yang merebut waktumu dari kita.
aku rindu masa-masa bersamamu.
Ketika tiada orang ketiga,
yang merebut waktumu dari kita.
“Nih pake.
Hari ini aku naik motor,” kata Doyoung seraya memakaikan jaketnya di punggung
gadisnya. “Gimana? Udah so sweet
belom?”
“Sok sweet,
hehe.”
***
DOYOUNG memilih duduk di meja nomor 3, di
dekat jendela transparan yang memperlihatkan lalu-lalang kendaraan.
“Kenapa
nggak duduk di tempat biasanya aja?” tanya Irene ketika baru saja mendudukkan
pantatnya di kursi.
“Bosen aja.
Kan kita harus mencari suasana baru, supaya nggak terasa monoton.”
Entah
kenapa, Irene merasa tersindir.
“Kenapa,
Ren? Muka kamu masam gitu.”
“Ah enggak.
Nggapapa kok. Kamu apa kabar?” Irene meraih sejumput rambut lalu
menelisipkannya di belakang telinga.
“Nggak
baik.”
“Kenapa?”
“Karena nggak
bisa ngehubungin kamu. Aku kangen.”
Irene
bergumam ‘ooh’ yang cukup panjang.
“Kok nggak
dijawab, ‘aku kangen kamu juga’? Aku
nggak ngangenin, ya?”
“Eh, bukan
gitu,” elak Irene cepat.
“Terus?”
“Pesen dulu
yuk, udah haus nih.”
“Ooh, iya.
Kamu mau pesen apa? Biar aku yang pesenin.” Doyoung masih saja melukiskan
senyum di bibirnya yang kaku.
Sebegitu
susahnya, ya
bagimu mengucapkan aku rindu?
Sebegitu tak berartinya, ya
aku di matamu?
bagimu mengucapkan aku rindu?
Sebegitu tak berartinya, ya
aku di matamu?
Aku tak
bisa membohongi hati,
bahwa aku merasa terganti.
bahwa aku merasa terganti.
Setelah
selesai memesan ke waiter, Doyoung
kembali ke tempat duduknya. Dan mendapati Irene sedang tersenyum-senyum ketika
bermain ponsel.
Ada nyeri
di kalbu,
ketika kau gembira bukan karnaku.
ketika kau gembira bukan karnaku.
Ada sesak di dada,
kala bukan aku, tetapi temanku
yang membuatmu bahagia.
“Chatting sama siapa sih? Bahagia
banget.” Dengan entengnya Doyoung
bertanya. Tanpa sedikitpun nada menyindir maupun kesal. Ia tetap menggunakan
kesan bercanda dan jenaka.
“O-oh, ini
temen aku.” Canggung, Irene berusaha menyembunyikan layar ponsel dari mata
Doyoung.
“TY?”
“Eh,
buk-iya deng. Chat sama TY.”
Mau bohong,
nggak tega.
Jujur, tapi nggak bikin lega.
Yaudah, apa adanya aja.
Berharap dia bisa tegar aja.
Jujur, tapi nggak bikin lega.
Yaudah, apa adanya aja.
Berharap dia bisa tegar aja.
“Coba, aku
mau lihat donggg.”
“Gak.
Gabole. Ini privasi tau.”
Doyoung
diam. Lalu memasang wajah imut yang dibuat-buat. “Kamu tega ih sama aku. Masa
baca chat kamu sama temen nggak
boleh? Aku mah apa atuh, selalu dibatasi sama pacar sendiri.”
Irene geli
sendiri melihat ekspresi sok imut pacarnya sampai tertawa terpingkal-pingkal.
Sedangkan Doyoung tersenyum, senang bisa melihat kekasihnya tertawa lepas
begini. Meski masih ada nyeri yang mengganjal di hati.
Tak lama
kemudian pesanan datang. Sejenak mereka sibuk dengan makanan masing-masing.
Tidak ada yang berbicara sepatah katapun. Karna kata mama, makan nggak boleh
sambil ngobrol. Hehe.
Tapi,
kemudian Doyoung membuka konversasi.
“Ren, arti
aku di matamu itu apa?”
“Uhuk-uhuk.”
Irene tersedak karena tak menyangka pertanyaan tersebut akan meluncur dari
bibir Doyoung. Sudah ia duga, cepat atau lambat pasti Doyoung akan bertanya
seperti itu. Tapi tidak bisakah ia bertanya setelah makan saja?
“Astaga,
pelan-pelan, Ren. Minum dulu nih,” ujar Doyoung cemas sambil menyerahkan lime squash pada ceweknya.
Sambil
menunggu Irene minum, Doyoung bermonolog, “Arti kamu buatku adalah segalanya. Aku siap berjuang demi kamu,
apapun akan aku lakuin. Semua halangan akan aku terjang. Aku siap melepaskan
semua yang sedang aku genggam, asal bisa bersamamu.”
“Tapi, Ren,
aku butuh alasan supaya aku tetap berjuang.”
Irene
menurunkan gelas dari wajahnya, meletakkannya pelan di atas meja.
“Boleh aku
tanya, apa arti aku buatmu?”
Irene
bergeming. Ia membuang mata, tak sanggup bersitatap dengan Doyoung.
“Ren? Bisa
tolong kamu jawab pertanyaan aku?”
Irene
menghela napas berat. Tak mampu menyembunyikan gelisah di hatinya. Bahkan, ia
sendiri tak tahu apa arti Doyoung baginya. Apakah Doyoung berharga atau pantas
dibuang?
Kutelan
segala pilu,
yang mengharu biru.
Tanpa dengar jawabmu
aku sudah tahu.
yang mengharu biru.
Tanpa dengar jawabmu
aku sudah tahu.
Aku di
matamu, tak berarti apapun.
Aku di hatimu, tak bernilai apapun.
Aku di hatimu, tak bernilai apapun.
“Yaudah Ren
kalau kamu nggak mau jawab. Mungkin aku memang cuma terlalu berrharap,” ujar
Doyoung nelangsa.
“Bukan
gitu, aku cuma—“ Irene hendak membuat pernyataan yang tak membuat Doyoung sakit
hati, tapi ia tak menemukan barang sepatah kata pun.
Alhasil,
Irene menundukkan kepala dalam. Merasa bersalah. “Maaf. Maaf banget ya.”
“Aku udah
tahu, akhir-akhir ini kamu deket sama TY kan?” Irene mengangguk lemah. “Udah,
nggapapa. Angkat aja kepala kamu, Ren. Tatap mata aku, karna aku nggak mau
seakan aku mengintimidasi kamu.”
Lantas,
Irene mengangkat kepala, memandang wajah Doyoung yang tersirat kekecewaan
terutama di manik matanya. Tapi, tetap saja ada senyum di bibirnya. Irene tak
habis pikir, ternyata ada tipe laki-laki sepertinya.
“Kamu suka
sama TY? Kamu nyaman sama dia? Kamu ngerasa bahagia nggak?” Setiap pertanyaan
Doyoung diangguki oleh Irene. Kemudian lelaki itu menghela napas pasrah.
“Sekarang
kamu maunya gimana?”
Irene
tercenung. Ia pikir, Doyoung akan langsung memutuskannya. Ternyata ia salah.
Cowok itu malah meminta pendapatnya.
Tidakkah
sakit ketika kau tahu,
aku tak lagi nyaman bersamamu?
Tidakkah menyesakkan ketika tahu,
bukan kau yang mengisi kalbu?
Lantas, putuskan saja aku,
tanpa memedulikan rasaku.
Jangan tanya padaku,
apa sebenarnya mauku.
aku tak lagi nyaman bersamamu?
Tidakkah menyesakkan ketika tahu,
bukan kau yang mengisi kalbu?
Lantas, putuskan saja aku,
tanpa memedulikan rasaku.
Jangan tanya padaku,
apa sebenarnya mauku.
Tidakkah
sudah jelas,
aku ingin kita putus?
Jangan buatku berbelas,
lantas meminta tak jadi putus.
aku ingin kita putus?
Jangan buatku berbelas,
lantas meminta tak jadi putus.
“Rasa-rasanya,
kita lebih baik putus aja ya?” tanya Doyoung meminta persetujuan. Tapi, Irene
bergeming, tak mengangguk, tidak pula menggeleng.
“Aku seneng
bisa sama kamu. Kamu humoris, aku suka,” ungkap Irene selang sepuluh detik
kemudian.
Begini
saja, Doyoung sudah senang. Selama ini, perasaannya tak terlalu sia-sia karna
bisa membuat Irene tertawa. Meski terkadang gurauannya aneh juga.
“Makasih
ya, Ren. Selama delapan bulan ini, kamu selalu ada buatku. Selalu nyemangatin.
Bikin aku rajin dateng kuliah supaya bisa ketemu kamu. Selalu ngingetin supaya
ngerjain tugas, bahkan ngebantuin.”
“Dan maaf,
karna aku belum bisa bikin kamu bahagia. Boro-boro ngurusin kamu, ngurus diri
sendiri aja aku nggak becus. Maaf, ya, kalau aku kurang perhatian ke kamu.”
Irene
tersenyum, “Iya, nggapapa kok. Makasih ya, kamu udah jagain aku selama delapan
bulan ini. Dan maaf juga. Maaf karna kita harus berakhir kayak gini.”
Doyoung
mengusap puncak kepala Irene. Pelan, lembut, dan penuh perasaan. Yang mungkin
untuk terakhir kali.
Karena
dengan berakhirnya sebuah hubungan,
akan membuat saling mengasingkan diri.
akan membuat saling mengasingkan diri.
-tbc.
0 Response to "Broke Up - 04"
Post a Comment