Tattoos | ONE

Tattoos 

Jung Jaewon | Moon Rachi
850+ words

Hujan yang turun semakin deras memaksa untuk menunda perjalanan. Motor berwarna merah menepi. Aku turun dari motor dan mengibas-kibaskan air yang menempel di kemeja merah muda, sedangkan pemuda yang bersamaku sibuk membenarkan letak motor agar tidak memenuhi jalan. Kami terpaksa berhenti di sebuah toko yang sudah tutup untuk berteduh sebab hujan yang jatuh semakin deras.

Sebuah kekhawatiran tergambar jelas di wajah pemuda itu setelah berbalik badan melihatku. Kedua alisnya mengerut, begitu pula dengan dahinya. Ia dengan segera melepas jaket bomber warna hitam yang masih melekat di tubuhnya. Lantas mengibas-kibaskannya di udara agar semua air hujan yang menempel luruh. Kemudian ia mengulurkannya padaku.

Menggeleng, aku menolak tawarannya. “Kau pakai saja.”

Terdengar embusan napas yang meluncur dari hidungnya sebelum ia mendekatiku dan menyampirkan jaketnya di punggungku. “Udara dingin adalah kelemahanmu. Pakai saja.”

“Tapi kau hanya memakai kaos lengan pendek!” bantahku cepat. Sudah jelas Jung Jaewon yang akan kedinginan di sini. Hendak kulepas jaket yang bertengger di punggung, tetapi pemuda Jung ini malah menahanku.

“Ra, kenakan saja. Aku tak apa.”

Pasrah, aku hanya mampu menurut. Jaewon memang perhatian, tetapi aku enggan membuatnya hanya peduli padaku tanpa memedulikan dirinya. Lihat kan, sekarang ia melipat lengan di depan dada sambil menahan hawa dingin yang menusuki tubuhnya.

“Jaewon-a, aku sungguh tak apa. Kau bisa mengambil jaketm—hatching!”

Decakan terdengar dari mulut Jaewon. “Ckck, sudah kubilang, aku tahu kau tak bisa tahan dengan udara dingin. Belum apa-apa, kau sudah bersin-bersin.”

Aku mendelik, malu.

“Kemari..” ujar Jaewon sembari menarik tubuhku lebih dekat dengannya. Tangan kanan pemuda Jung ini melingkar di pundakku. Iya, sebuah rangkulan.. yang membuat seluruh ragaku menegang.

“Jaewon-a..”

“Tangan..” Jaewon bersuara lagi. Kali ini membuatku bingung. Apa maksudnya? Lalu ia terkekeh ringan setelah melihat ekspresiku. Lalu mengusap puncak kepalaku sambil berkata, “Lucu sekali. Kau tahu umurmu berapa?”

“Kenapa?” tanyaku dengan sengit. Tahulah, perempuan tidak suka membahas umur—atau hanya aku saja yang begini?

Senyum lebar terukir di bibir Jaewon. Wajahnya mendekat dan otomatis, aku langsung menahan napas. “Kau terlihat seperti berumur tiga belas tahun. Apalagi tingkahmu, seperti anak TK. Hahaha.” Jaewon terkekeh lagi. Tawanya renyah sekali, membuatku kesal sampai memanyunkan bibir.

Namun wajah tertekukku segera sirna ketika Jaewon dengan cepat menggenggam tanganku. Erat dan hangat. Ia tersenyum lebar. “Ini karena kau tidak kuat hawa dingin, Ra. Ingat kan, dulu kau pernah sampai menggigil setelah kehujanan?”

“Tapi waktu itu kan karena memang cuacanya sedang—“

“Deras sekali, mau coba menerobos? Tapi aku hanya membawa satu jas hujan,” potong Jaewon.

Aku melenguh. Jelas sekali kan dia sengaja memotong ucapanku agar kami tetap bergandengan?

“Tidak perlu jika kau menyuruhku mengenakannya dan membiarkan dirimu basah kuyup sendirian.”

“Lihat lihat.. kau ini menggemaskan.”

“Memang,” jawabku angkuh.

Lantas pembicaraan kami perlahan mulai memudar dan digantikan oleh keheningan. Hanya suara hujan yang terdengar. Durasi yang cukup lama membuat kami tak bisa apa-apa dan berakhir menunggu sampai setidaknya tinggal rintik-rintik kecil saja.

Mencoba membangun suasana, aku mulai melontarkan pertanyaan yang selama ini sudah bersemayam cukup lama di pikiran. Dwinetraku memandang lengan Jaewon yang tengah melingkar di lututnya yang tertekuk. Sebelumnya aku berpikir apakah pertanyaanku akan membuatnya tidak nyaman, setelah menimang-nimang akhirnya kuutarakan.

“Jaewon-a..”

“Hm?” Kepala Jaewon menoleh ke arahku.

“Boleh bertanya?”

Jaewon mengulum bibirnya sambil mengangguk, serta mengeluarkan gumaman. “Hm, tanya saja.”

Lenganku meregang dan jari telunjukku menyentuh salah satu pola yang tergambar di lengannya. “Ini maknanya apa?”

“Itu yang ingin kau tahu?”

Aku mengangguk. “Aku ingin tahu alasanmu membuatnya, tapi jangan tersinggung, aku tak bermaksud apa-apa kok, suwer deh!”

Jaewon tertawa kecil melihat tingkahku. “Hm.. sebenarnya tidak ada arti tertentu, sih. Aku hanya suka lalu membuatnya hahaha. Setelah membuatnya, aku mulai merasa lebih dekat ke sesuatu yang benar-benar ingin kulakukan.” Jaewon melempar senyum manisnya sebelum berkata lagi. “Ini adalah tokoh yang kusuka, dan sepertinya aku tak akan membuat tato dengan wajah seseorang lagi.”

“Kenapa?”

“Atau lain kali kubuat tato dengan wajahmu saja?”

“Jaewon-a..”

Jaewon menahan tawanya. “Aku hanya punya satu tato yang sangat bermakna, Ra. Ini. Saat aku menggambarnya, aku sedang melewati masa yang sulit. Saat itu aku berpikir ingin bahagia,” ungkapnya lalu memandangku. Tatapan matanya menunjukkan sesuatu. Seolah-seolah membawaku ke dimensi di mana ia tengah mengalami kejadian gelap itu. Aku bisa merasakan masa sulitnya, yang syukurlah telah terlewati. Rasanya aku ingin memberikan semangat. Namun, aku hanya bisa menepuk bahunya.

“Oh ya, satu lagi, ini. Aku menulisnya sendiri. Aku mudah khawatir mengenai hari esok jadi aku merasa hanya ingin hidup dengan bahagia hari ini, itulah kenapa aku membuat tato ‘today’.. dan..”

“Apa?”

Jaewon menggeleng. “Sekarang aku sudah tak pernah khawatir lagi.” Lalu menunjukkan deretan giginya yang rapi. “Karena sekarang dan seterusnya… ada kamu di sisiku.”

Melihat wajah Jaewon yang berseri-seri membuat bibirku otomatis membentuk sebuah senyuman. Entah kenapa, rasanya lega sekali bisa melihatnya seperti ini.

Aku harap, Jaewon selalu bahagia.



FIN.
started 05 January 2020
and finished 07 January 2020

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tattoos | ONE"

Post a Comment