Alfaken
"Nggak pernah nyangka bakal jadian sama brondong!"
Menjelang sore pun ragaku masih berada di
area sekolah. Bermodal laptop dan chager,
kugunakan wi-fi sekolah secara
maksimal. Akhir-akhir ini banyak sekali tugas sekolah yang harus mencari
referensi dari internet, ada pula masalah organisasi yang harus browsing informasi ini-itu. Intinya,
seminggu penuh ini aku sangat sibuk. Seminggu ini pula aku selalu pulang
terlambat. Bila wajarnya anak sekolah pulang pukul dua siang, aku sampai di
rumah pukul 5.00 sore.
Sejak tadi aku menahan umpatan di
tenggorokan. Ini hari Sabtu dan anak SMA Wijaya pulang lebih awal. Seharusnya
aku bisa pulang sebelum jam lima nanti, tapi sepertinya itu hanya
angan-anganku. Sebab, hingga jam tiga pun wilayah sekolah masih ramai dengan
Pemuja Wi-fi.
Fuck you all!
Kenapa sih mereka nggak langsung pulang dan
bergelut dengan selimut daripada harus mengganggu kelancaran wi-fi yang kugunakan?
Plis deh, tugasku masih menggunung dan aku
sangat butuh wi-fi.
Jangan bilang aku ini rakyat jelata yang
miskin kuota! Aku hanya menghemat pengeluaranku karena aku ini anak kos.
Meminimalisir pengeluaran yang tidak terlalu penting adalah kewajiban seseorang
yang jauh dari orang tua dan belum bekerja; dan itu adalah aku banget.
Moodku yang
sudah memburuk bertambah kusut ketika bunyi cekrek
dari kamera ponsel seseorang. Sontak aku mendongak dan mendapati seorang cowok
sedang berjongkok di hadapanku. Cengiran khasnya membuatku muak dan sumpah, aku
ingin menonjok wajahnya sampai giginya rontok semua.
“I got
your photo!” serunya iseng.
“Hapus, Al!”
Lelaki bermata sehitam jelaga itu justru
menjulurkan lidah, mengejekku.
“Ck, hapus nggak!”
“Nggak mau,” ujarnya bodo amat sembari menscroll galeri. Rupanya ia menjepretku
beberapa kali dan semuanya adalah wajah menjijikkan seorang Keana Roses.
“Alfa Baskara Bachtiar, hapus foto gue
sebelum gue ubah nama lo jadi Almarhum!”
Cowok itu malah meringis, menampilkan deretan
giginya yang rapi dan putih. Kemudian terkekeh ringan.
“Hehe, muka kamu jelek deh.”
Mukaku jelas berubah merah padam ketika Alfa
berujar demikian. Ini jelas sebuah penghinaan! Seius deh, aku ingin
mengeluarkan semua stok sumpah serapah dan nama-nama binatang di Kebun Raya
Bogor, tapi aku menahannya sekuat tenaga.
Kuhembuskan napas kasar, nyaris seperti
banteng yang mendengus marah dan siap menyeruduk musuhnya. Ingat, Alfa ini
punya kelainan kejiwaan. Jadi, bicara dengan seorang Alfa harus penuh kesabaran
dan ketabahan.
“Alfa..”
“Apa, Keana Roses Jatmika?”
“Nggak usah bawa-bawa nama bapak gue!”
Astaga, susah untuk tidak meledak ketika
berhadapan dengan Alfa.
“Hehe, emangnya kamu nggak bangga sama bapak
yang udah ngelahirin kamu? Masa nama bapaknya disematin di nama kamu aja, nggak
mau. Dosa, lho.”
“Sejak kapan bapak ngelahirin, woy?!”
“Ehh.. oiya, bapak kan yang bantu wanita
membuat anak.”
“Alfa!”
Demi apapun, aku membenci wajah sok polosnya
ketika berbicara itu. Rasanya, aku ingin menyobek kulit wajahnya dan kujadikan
masker supaya awet muda.
“Ih, apa sih, Ken? Kita kan udah putus. Maaf,
aku nggak mau balikan sama kamu lagi. Aku udah nggak suka sama kamu, dan
lagipula aku udah punya yang baru,” ujar Alfa dengan ekspresi songongnya.
“Emangnya sejak kapan kita pacaran, Tolol?”
ujarku agak keras ketika Alfa sudah berjalan meninggalkanku.
Oh OK,
aku salah. Kini, orang-orang memperhatikanku seolah aku ini perempuan jahat
yang sudah memaki mantan pacarnya—tapi aku tak pernah, atau mungkin belum
pernah pacaran dengan putra bapak Rian Bachtiar itu.
“Awas aja ntar, gue penggal kepalanya kalau
ketemu di jalan,” gerutuku sambil menatap layar laptop untuk mempercepat urusan
supaya bisa lekas pulang.
**
Tungkai-tungkai yang kelelahan duduk lesehan di lobi
ini, berjalan malas melewati koridor. Ku lirik jam tangan putih di tangan
kiriku yang menunjuk angka empat. Hari ini aku pulang cepat padahal masih ada
sisa tugas yang belum selesai. Masalahnya, aku sudah terlanjur malas karena
kecepatan wi-fi yang membuatku kolot.
Belum lagi, gangguan-gangguan yang dilakukan Alfa.
Alfa, cowok tinggi yang lebih muda setahun
dariku. Yep, dia adalah adik tingkatku. Umur kami memang hanya terpaut satu
tahun, tapi ketika menghadapinya, aku merasa sedang berhadapan dengan anak SD
bahkan TK yang suka jahil.
“Keana...” suara bass yang bernada seperti panggilan setan di film-film itu
menggelitik tengkukku. Sekejap, bulu kudukku sudah meremang, merinding. Tapi
aku tahu, yang menyebut namaku bukanlah setan dari neraka.
Sedikit ku tolehkan kepala ke kanan dan
mendapati wajah Alfa yang berekspresi jelek. Keningku mengkerut melihatnya
begitu.
“Ngapain sih?” tanyaku menuntut kejelasan.
Alfa terkekeh girang. “Hehehe, aku lucu ya.”
Bola mataku memutar jengah. Lantas berjalan
meninggalkan spesies langka itu.
“Lho, kok aku ditinggal sih?” ujarnya. Ia pun
memperlebar langkahnya, benar-benar memanjangkan kaki kanan di depan
sejauh-jauhnya sambil berhitung. “Satu.. dua..”
Aku menoleh sebentar untuk melihatnya dan
sumpah, aku ingin mengutuknya jadi anak kecil seumur hidup. Bahkan sepupuku
yang masih TK nggak bertingkah sekonyol itu!
“Alfa, lo ngapain?”
“Mau nyusul kamu, Ken.”
“Ya udah jalan biasa aja!”
Alfa tak menggubris ucapanku. Ia tetap
melangkah lebar sambil berhitung. Aku yang melihatnya kekanak-kanakan begitu
menjadi jengkel sendiri. Kalau aja Alfa nggak berwajah imut, udah babak belur
dari tadi dia karena ku pukuli.
“Tujuh!” seru Alfa senang seraya bertepuk
tangan.
“Al, lo punya riwayat cacat otak nggak sih?”
“Keana, nggak boleh ngomong gitu!”
Detik itu pula aku sadar, tak sepatutnya aku
berujar begitu.
“Iya, maaf. Habisnya lo bego!”
Aduh, salah ngomong lagi.
“Kok ngomong kotor? Nanti bakalan Alfa
bilangin tante Whitney Roses!”
“Tukang ngadu,” cibirku. “lagian, lo nggak
bakal bisa bilang ke mother.”
“Bisa! Alfa kan bisa ke rumah Keana, I know where is your homie.” Alfa
menjulurkan lidah sampai mengeluarkan suara ‘wek’ yang membuat rasa gemasku
membeludak. Iya gemas, gemas pengen nabok.
“Maksud gue, nyokap baru di Amerika.”
Alfa sedikit terkejut mendengarnya, terlihat
dari raut wajahnya yang mendadak serius. Namun, sepersekian detik berikutnya,
ia memasang tampang konyolnya lagi.
“Haha, tante Whitney aja nggak betah lama-lama
di rumah sama kamu apalagi doi yang udah ngasih harapan palsu ke kamu itu!”
Mama cuma lagi sibuk urusan bisnisnya!
Ingin aku membalas Alfa begitu, tapi aku tahu
itu takkan mengubah apapun. Karena ini Alfa. Cowok sok polos yang suka mengejek
dan membuat jengkel, cowok yang punya berbagai jawaban main-main untuk
bercanda.
“Eh!” seru Alfa.
Aku sedikit menghadap ke arahnya karena
kupikir Alfa memanggilku, ternyata tidak. Ada seorang gadis bersurai hitam
sebahu yang sedang berjalan keluar gerbang dan itu menjadi pusat perhatian Alfa
sekarang.
“LILID!”
Namanya Lidya Cahyani. Cewek yang pernah
disukai Alfa secara tulus, tapi malah terang-terangan menolaknya saat
pendekatan.
Aku memandang mereka kesal. Apaan banget deh.
Alfa ngobrol dengan Lidya sampai tertawa begitu. Apa dia lupa bahwa ia pernah
ditolak mentah-mentah?
Tunggu dulu deh, kenapa Lidya terlihat lebih
terbuka pada Alfa? Ia bahkan tersenyum dan tak terlihat menghindari Alfa
seperti dulu.
Apa mereka ada progres? Tapi, bukannya Alfa
sudah suka orang lain?
Ah sial, kenapa aku jadi kepo begini sih?
Ih, Alfa memotret wajah Lidya diam-diam
ketika gadis itu menoleh ke arah lain! Berulang kali pula!
Tanpa sadar, aku sudah menahan emosi supaya
tak menjambak rambut Lidya. Dasar cewek tebar pesona!! Cewek genit!!
Kalau kayak gini, lebih baik aku segera
pulang sebelum emosiku tak terbendung lagi.
“Alfa, aku pulang dulu ya,” pamitku pada
cowok jangkung itu.
“Ya pulang sana!”
Ini serius? Alfa mengusirku? Oh, aku tahu,
pasti karena sudah ada cewek lain yang menemani kejombloannya saat ini. Dan
cewek itu adalah Lidya Cahyani sang pujaan hatinya.
Aku mencebik kesal sebelum menyeberang untuk
mencapai halte. Awas aja, bakal aku keluarin usus-usus Alfa nanti!
Duduk menunggu di halte, membuatku jenuh.
Apalagi posisi halte ini berseberangan dengan SMA Wijaya, yang tentunya aku
bisa melihat Alfa dan Lidya dengan sangat jelas. Bagaimana Alfa menunjukkan
ponselnya pada Lidya lalu gadis itu tersenyum malu, mereka bercanda sampai
tertawa, dan akhirnya Lidya sudah dijemput, Alfa yang tersenyum pada ayah Lidya
dan melambaikan tangan.
Aku kesal. Rasanya ada yang mendesak rongga
dadaku hingga terhimpit sakit.
Akhirnya bis yang kutunggu sejak lima menit—yang terasa setengah abad—pun berhenti
di depan halte. Aku segera melangkah masuk dan memilih tempat duduk di pojok
belakang. Baru saja aku akan fokus membaca Wattpad di ponsel, namun sosok
jangkung yang masuk dalam bis itu menyita atensiku.
Sorot netraku bergerak ke arah cowok itu
berjalan hingga ia terduduk di sampingku sambil menghela napas lega.
Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa ia naik
bis yang bahkan tak melewati daerah rumahnya ini, namun kuurungkan niat itu dan
memilih tenggelam pada salah satu cerita di Wattpad.
Bis pun melaju dan aku merasa sedang diamati.
“Baca apa sih?”
Kepalaku menoleh ke kanan untuk membalas
ucapannya, namun seketika itu aku mematung sekian detik. Wajah kami saling
berhadapan dengan jarak yang terbilang dekat bahkan aku bisa mencium aroma mint dari tubuhnya. Helaan napasnya
menyapu pori-pori wajahku, yang membuatku merinding.
Segera ku jauhkan diri ketika kondektur
menagih uang pembayaran. Dengan kikuk, aku malah menggaruk kepala dan mengingat-ingat
bagaimana cara untuk bernapas.
“Berapa, Mas?”
“Dua ribu aja.”
“Yaudah, ini dua ya, Mas.”
“OK,” ujar kondektur itu sambil memberikan
dua karcis warna pink khusus pelajar
serta kembalian sejumlah Rp1000,oo.
Rasanya aneh. Bahkan aku tak mengerti kenapa
jantungku harus berdegup kencang begini. Omong-omong, aku suka parfumnya. Aku
suka aroma mintnya. Ah, untungnya
hidung kami tak begitu mancung. Bisa-bisa tadi hidung kami bersentuhan.
Kepalaku pusing. Kenapa aku merasa gerah? Lho, tanganku dingin.
“Keana..”
“Eh, iya?” tanyaku linglung sambil menghadap
ke Alfa. Seketika wajahku terasa panas ketika melihat bibirnya dan aku harus
mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Kamu kenapa deh? Dari tadi dipanggilin malah
ngelamun seolah kita beda alam. Aku alam dunia dan kamu alam baka hahaha.”
Candaan yang menjengkelkan, tapi aku tak
berniat marah dan mengomelinya seperti biasa.
“Keana Roses! Kamu lagi aku ajak ngomong
tau!”
“Iya-iya, denger.”
“Apa kotak sampah warna biru itu lebih
menarik daripada wajah tampan aku?”
“Ih, tampan darimananya!” sentakku tak
terima.
“Ya tampan. Buktinya, Keana Roses aja
terpesona dan jatuh hati.”
“Idihhh, nggak!” Kini aku menghadapi wajah
Alfa. Ini sih namanya bunuh diri. Salahku berlagak menantang padahal sewaktu
lihat mata hitamnya, seketika hatiku merona malu.
Alfa tersenyum miring sambil mengangkat alis
tinggi-tinggi. Dasar kepedean! Kalau sudah begini, biasanya aku akan
menyemprotnya dengan segudang hipotesisku yang nggak jelas untuk membantah statementnya. Akan tetapi, kali ini aku
hanya diam dan membuang muka.
Ada apa sih sama diriku ini?
“Hmm, tuh kan,” simpul Alfa dengan nada penuh
kemenangan.
Iya deh, terserah lo, Al.
Setelah itu, suasana bis terasa hening. Aku
batal membaca Wattpad dan malah memperhatikan ujung sepatuku yang
mengayun-ayun. Alfa sendiri sibuk main HP.
“Al, lo ada progres sama Lidya, ya?” tanyaku
ragu.
“Hm.. menurut kamu?” jawabnya tak acuh
sembari mengetikkan sesuatu di chat room
bersama seseorang.
“Lagi chat
sama siapa sih? Asik banget kayaknya.”
“Lidya nih.”
Oh, Lidya. Ada rasa nggak enak di dada yang
membuatku menerbitkan senyum getir.
“Semoga cepet jadian deh.”
Alfa menurunkan layar HPnya dan beralih
memperhatikanku. “Kenapa? Kok kayaknya nggak suka gitu.”
“Lidya cantik, ya kan? Udah gitu, pinter,
supel, imut, pokoknya idaman banget deh!”
“Kamu kayak lagi ngomong, lebih OK aku daripada Lidya, Al.”
“Kok nyimpulin gitu sih? Nggaklah! Aku sih
beda jauuuhhhh bangett-nget-ngett dari Lidya.”
“Iya, jauh banget,” jawab Alfa datar.
“Tadi kalian juga kelihatan deket banget, pokoknya
aku tunggu makan-makannya.”
“Ooh, rupanya seorang Keana Roses bisa
cemburu juga?”
“Cemburu apaan?!”
“Nih ya, tadi itu aku ngefoto Lidya karena
mau ngasih tahu kalau ada kotoran yang nempel di wajahnya, bukan karena mau
nyimpen fotonya. Sekarang udah aku hapus kok, Keana nggak usah jealous.”
Tanpa sadar, aku menghela napas lega.
“Tuh kan, ternyata itu yang dikhawatirin
sejak tadi?”
“Nggak!”
“Ngaku deh!”
“Dibilangin enggak, ya enggak.”
“Hm. Masa?”
Aku hendak menjawabnya lagi dengan kalimat
yang sama, tapi terjeda oleh suara notifikasi dari HP Alfa.
“Ada WA tuh dari Lidya.”
Dan tanpa sadar, aku mengucapkan kalimat itu
dengan sarkastik.
“Dih, orang aku ada urusan sama Lidya yang
berkaitan hidup dan matiku sebagai anggota OSIS. Bukan chatting sayang-sayangan.”
“Gue nggak peduli kok.”
“Biasanya kalau pakai ‘kok’ berarti bohong.”
“Ter se rah.”
Kemudian aku bangkit dari bangku, berjalan
menuju pintu karena sebentar lagi tiba di tujuanku. Lagian, aku malas berdebat
dengan Alfa.
“Turun, ya, Mas.”
“OK,
kiri, Pak!” ujarnya pada sopir.
Bus pun menepi dan pintu terbuka. Aku keluar
dari bis dan diekori Alfa.
Keningku mengernyit. “Lo ngapain?”
“Nemenin kamu.”
“Nggak butuh, mending lo temenin si Lidya
sana!”
“Tuh kan. Aku udah pernah bilang ke kamu,
Ken, aku udah move on.”
“Yaudah, sana sama gebetan baru lo! Jangan
ngikutin gue kayak penguntit dong!”
“Aku kan mau mampir ke rumah kamu, mau minta
minum, haus.”
“Beli aja di warung!”
Aku berjalan menuruni tangga halte dan tak
memedulikan eksistensi Alfa.
“Lidya tuh ternyata baik, ya? Dia mau bantuin
aku.”
“Bodo amat.”
“Tapi bagiku, kamu yang terbaik.”
Langkahku sempat terhenti karena terlampau
kaget ketika mendengar kalimat itu. Namun, segera kubuang perasaan berlebihan itu
dan memilih tak menggubrisnya.
Alfa mensejajari langkahku. “Bagi Alfa
Baskara Bachtiar, Keana Roses adalah yang terbaik.”
Aku mempercepat langkah supaya Alfa tak bisa
melihat wajahku yang merona merah padam. Ya Tuhan, perasaan macam apa ini???
Kenapa aku merasa amat senang? Kenapa jantungku seolah berhenti berdegup ketika
mendengar kalimatnya? Kemudian kenapa mendadak jantungku berpacu sangat cepat?
Jangan-jangan aku punya kelainan jantung?
“Kennnn! Malah kabur!” seru Alfa yang
mempercepat langkah untuk menyusulku.
“Lo jangan ke kos gue!”
“Loh, kenapa?” Alfa memasang wajah cemberut,
yang sumpah demi apa lucu banget. Aku harus mati-matian menahan rasa gemas
untuk tidak mencubit pipinya.
“Karena gue sendirian di kos.”
“Biasanya juga sendiri.”
“Kadang ada nyokap yang jenguk!” bantahku.
“Dasar jones.”
“Iya, gue emang jomblo!”
“Pacaran, yuk?”
“Hah?”
“Ayo pacaran biar kamu nggak jomblo lagi!
Biar tiap hari ada yang ngirim makan dan ada yang ngapelin tiap malming.
“Maksudnya?”
“Aduh, lo tuh pinter-pinter, tapi tolol.”
“…”
“Gue minta lo jadi pacar gue.”
“Sorry?”
“Gue suka sama lo, astaga! Lemot banget sih
lo! Pantes bokap lo milih pisah dari nyokap karena nggak kuat ngurusin lo.”
“Heh! Lemot-lemot gini lo juga suka!”
bentakku kesal.
Alfa menghela napas, mencoba tidak terbawa
emosi.
“Jadi, gimana?”
“Gimana apanya?”
“Lo mau nggak?”
“Mau apa?”
“Nggak usah sok tolol, please,” ujar Alfa nelangsa.
“Lo minta jawaban apa?”
“Ya jelaslah, gue pengen diterima.”
“Diterima?” aku mendengus. “lo pengen
diterima sedangkan cara nembak lo aja nggak so
sweet sama sekali?” ujarku sengak.
“Niatnya mau so sweet, tapi lo sih!”
“Gue kenapa?”
Alfa diam sejenak sebelum menjawab, “lo bikin
jantung gue nggak normal.”
“Periksa dong ke dokter!”
“Gue lagi ngegombal!”
“Hahaha.”
“Sumpah, Ken. Nggak lucu. Bisa nggak lo
jangan kayak gini?”
“Kayak gini gimana?”
“Tinggal jawab aja, lo mau atau enggak?”
“Hm…”
“Plis, jangan membebani gue lagi. Udah cukup
gue nahan kaki biar nggak jatoh karena gemeteran, cukup gue nahan supaya nggak
ngompol saking groginya. Udah cukup, Ken. Jangan tambahin penderitaan gue
dengan cara gantungin jawaban.”
“Gue nggak pernah mikir bakal dapet yang
brondong,” ujarku dengan nada bersalah.
“Gue juga nggak pernah ngerencanain buat jatuh
cinta sama yang lebih tua, dasar tante-tante!”
“KURANG AJAR!”
Alfa terkekeh kaku seolah ia memaksakan
tawanya. “Jadi, gimana?”
“Hm... nggak tau!”
“KEENNN!!!”
“Hehehe, nyatanya menjawab sesuatu yang
mendadak itu nggak gampang.”
“Ntar gue bantuin ngerjain tugas-tugas lo
deh!”
“Dih, nyogok.”
“Ck, pinjem HP lo!”
“Buat apa?”
“Pinjem aja, siniin.”
“Nggak mau. Pasti buat macem-macem.”
“Siniin! Buruan deh, nggak bakal buat
macem-macem kok.”
“Buat apa dulu?”
“Buat pesen gojek! Gue mau pulang.”
“Ooh, beneran?”
“Iya!”
“Yaudah, nih.”
Aku menyodorkan ponsel pada Alfa.
Ia menekan layar sana-sini kemudian
menempelkannya di telinga.
“Udah dapet drivernya? Cepet banget, tumben.”
Alfa menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai
perintah supaya aku diam.
“Halo, Tante Whitney, Alfa boleh macarin
Keana nggak?”
Sontak bola mataku membola. Selama aku
mengenal Alfa, ada satu fakta yang selalu melekat; Alfa itu gila.
-fin.
0 Response to "Alfaken"
Post a Comment