Bus Incident

Bus Incident

Liv—Ibra | Romance | PG | Ficlet
Ansea©2016


Liv duduk di bangku sambil memeluk tas ranselnya setelah menerobos masuk dan memenangkan satu-satunya bangku kosong yang tersisa di dalam bus yang dalam sekejap telah padat. Untungnya ia bergerak cepat, kalau tidak, ya pasti dia sudah harus berdiri berdesakan di dalam bus.

 

Beberapa hari lalu, Liv terkena flu yang dampaknya membuat semangatnya turun drastis bahkan hingga detik ini. Liv yang biasanya heboh dan tak tanggung-tanggung memekik kegirangan meskipun sedang berada di keramaian, kini hanya tertunduk lesu sembari memandang tasnya dengan tatapan kosong.

 

Ada banyak sekali beban di otaknya. Selain pelajaran matematika yang rumitnya minta ampun, atau kimia yang gurunya ngejelasin nggak jelas dan memberikan dampak nilai ulangannya yang tercetak angka 5 dengan bolpoin merah—yang membuatnya sempat uring-uringan karena baru beberapa bulan ia menjadi siswa SMA dan nilainya sudah mengenaskan. Ada beberapa pikiran lain. Ini tentang Kak Ibra. Gebetan Liv yang seharusnya sudah peka terhadap perasaannya.

 

Beberapa minggu lalu, Liv benar-benar mengagumi seniornya itu. Selain karena tampangnya yang oke, kulitnya yang putih bersih, serta style-nya yang kece abis, Kak Ibra ini tipikal kakak kelas yang nggak suka nindas junior-juniornya. Justru dia itu ramah banget dan murah senyum. Bahkan dia pernah nyapa Liv: “Belum pulang, Dek?” Padahal waktu itu kondisinya mereka baru pertama kali tatap muka.

 

Atas dasar itu, perasaan suka merekah di hati Liv. Awalnya sih, hanya sekedar memandang dari kejauhan. Tapi karena Tuhan yang mengabulkan doa gadis bersurai cokelat itu yang siang-malam meminta supaya didekatkan dengan Ibra. Keajaiban datang, kelas Ibra yang tadinya ada di lantai dua dan membentang jauh dari kelas Liv, tiba-tiba dipindah menjadi tepat di sebelah kelas Liv.

 

Itu sungguh keajaiban yang langsung disyukuri Liv. Dengan begitu, ia bisa lebih lama mengonsumsi vitamin A yang membuat matanya segar setiap saat. Hari berlalu dan keberanian muncul dalam benak Liv. Kali ini ia ingin mengirim surat kepada kakak kelasnya itu. Syukurnya, dua temannya dengan senang hati membantu. Yang satu, mencari tahu bangku kak Ibra, yang satu lagi, membantunya meluncurkan aksi.

 

Pengiriman surat itu berlangsung hingga surat ke-10. Liv sempat patah semangat karena tak mendapat respon sama sekali. Hingga ia putuskan menulis surat ke-11 yang berbunyi: kadang kita bukan hanya membuang waktu untuk mencintai orang yang tidak tepat, tapi juga menunggu orang yang salah.

 

Dan berlanjut hingga surat ke-12, yang berbunyi: tak pernah kusesali hadirmu yang menjelma setiap detak di jantungku.

 

Dan berakhir. Liv memutuskan tak lagi mengirim surat.

 

Beberapa hari kemudian, ketika ia berjalan melewati kelas Kak Ibra, ada beberapa cewek yang sedang duduk ngrumpi di bangku semen yang tersedia. Nah, sewaktu Liv lewat, ada yang berbisik-bisik.

 

“Ini, ya, yang dimaksud?”

 

“Hah? Yang mana?”

 

“Oh, yang itu?”

 

“Iya, yang lagi jalan itu.”

 

“Kayaknya sih emang dia.”

 

“Berani bener sampe ngusik kelas dua belas, ya?”

 

Yang terakhir itu, nadanya terdengar sinis sekali. Membuat nyali Liv langsung ciut. Salahnya juga sampai jatuh hati dengan kakak kelas dua belas yang jelas-jelas bentar lagi akan lulus. Padahal sudah berulang kali ia camkan pada hatinya supaya mencari pengganti yang minimal seangkatan dengannya atau.. cari adik kelaslah, biar nanti Liv yang ninggalin dia, bukan dia duluan yang ninggalin Liv karena lebih dulu lulus. Sekali lagi, cinta itu nggak butuh rumus yang dengan mudah menentukan kepada siapa kita harus jatuh cinta.

 

Liv memandang ujung sepatunya, masih menerawang. Ah, kak Ibra itu, walaupun sudah sekuat tenaga untuk melupakannya, tetap saja cowok itu tak enyah dari kalbu. Dan gawatnya, teman sekelas kak Ibra sudah banyak yang tahu tentang identitas Liv—sosok yang menyukai Ibra, yang mengusiknya dengan seamplop surat ditemukan di atas meja saat pagi hari tanpa nama pengirim, dan yang selalu memandangnya dari kejauhan.

 

Seharusnya Kak Ibra peka.

 

Mungkin dia memang sudah peka, tapi menyembunyikannya.

 

Ya Lord, aku juga ingin pura-pura nggak tahu seperti dia, yang padahal tahu semuanya.

 

Liv semakin menunduk dalam. Kecewa.

 

Pintu bus terbuka dan seorang ibu berbadan gempal masuk bersama satu bayi di gendongannya dan satu anak kecil perempuan digandengannya. Liv yang tak tega, segera bangkit dan menyerahkan bangkunya pada ibu itu. Sebagai gantinya, Liv berpegangan dengan besi yang ada di dekat pintu, lagipula sebentar lagi dia akan turun.

 

Tapi.. cittt, bus direm mendadak. Tubuh Liv terhuyung bahkan hingga jatuh ke belakang, menibani penumpang lain yang berdiri.

 

Malu! setengah sadar, Liv bergegas bangkit dan meraih pegangan.

 

Bus kembali melaju. Dan sialnya, bus itu kembali mengerem mendadak. Tubuh Liv terjerembap ke depan, untungnya ada penumpang di depannya yang menahan tubuh Liv, kalau tidak, mungkin Liv akan jatuh mengecup lantai bus.

 

Liv tepat terjatuh di dada penumpang itu, buru-buru ia menarik diri.

 

“Maaf,” kata Liv yang sama sekali tak melihat wajah penumpang tadi, sebab penumpang itu lebih tinggi darinya dan Liv malas mendongak.

 

Tak terdengar respon.

 

Bus kembali melaju. Baru sebentar, kejadian itu terulang lagi. untungnya, kali ini Liv hanya terhuyung kecil. Sebuah tangan mencekal bahunya erat, menjaga supaya tubuh Liv tak terjatuh. Dengan cepat tangan itu menarik tubuh Liv mengarah ke dalam rengkuhannya. Ini seperti kejadian berpelukan sepasang kekasih!

 

Liv agak kaget dan secepat kilat ingin melepas diri, namun sulit karena ia seorang gadis dan orang yang sedang merengkuhnya adalah seorang laki-laki.

 

“Nggapapa, kamu aman,” bisik suara itu tepat di daun telinga Liv.

 

Gadis itu mendongak dan... betapa terkejutnya ia.

 

Kedua obsidian Liv membola sempurna. Bibirnya beku, lidahnya kelu, ia tak bisa berkata apapun.

 

Laki-laki itu tersenyum ramah pada Liv, serta memberikan tatap mata yang begitu meneduhkan, menenangkan.

 

“Kamu belum makan, ya? Bisa-bisanya jatuh sampe tiga kali?”

 

Susah payah, Liv mencoba membalas.

 

“So-sopirnya tuh yang urakan.”

 

Laki-laki itu tertawa kecil, dan mempererat rengkuhannya.

 

“Yaudah, biar aku jagain kamu supaya nggak jatuh-jatuh lagi.”

 

Liv justru ingin melepaskan diri.

 

“Tolong lepasin, Kak.”

 

“Kenapa? Aku takut nanti kamu jatuh lagi. Biar kamu ada dipelukanku aja, supaya aman.”

 

“Tapi, Kak Ib—“

 

Sstt, anggap aja ini permintaan maafku karena telat ngerespon kamu. Ok?”

 

“Maksudnya?”

 

Liv nggak bisa mencerna sama sekali ucapan Ibra barusan.

 

Kakak kelasnya itu tersenyum kemudian mendekatkan bibir ke daun telinga Liv.

 

“Kalau kamu nggak tau, berarti kamu nggak peka,” bisiknya lalu kembali tersenyum.

 

Liv ingin menjawab, namun urung ketika kondektur menyebutkan tempat yang menjadi tujuannya. Liv menarik diri dari rengkuhan Ibra yang mulai mengendur.

 

Liv turun tanpa berkata apapun pada Ibra, dan yang mengejutkan, Ibra juga turun!

 

“Loh? Kakak kok..?”

 

“Kan aku harus jagain kamu, harus selamat sampe rumah.”

 

“...”

 

“Mau naik apa? Angkot atau taksi?”

 

Liv hanya memandang sosok itu penuh tanya.

 

“Biar aku cariin, atau aku tungguin sampe kamu bener-bener dapet kalo kamu nggak mau aku cariin.”

 

“…???”

 

“Yaudah, kita naik taksi aja, ya?”

 

“Nggak usah, Kak, aku bisa pulang sendiri kok.”

 

“Aku serius, Liv Sayang. Sebagai pacar, aku harus bertanggung jawab penuh sama kamu. Jadi kamu jangan nolak gini dong. Ok?”

 

“…”

 

—FIN

 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bus Incident"

Post a Comment