Bus Incident
Liv duduk di
bangku sambil memeluk tas ranselnya setelah menerobos masuk dan memenangkan
satu-satunya bangku kosong yang tersisa di dalam bus yang dalam sekejap telah
padat. Untungnya ia bergerak cepat, kalau tidak, ya pasti dia sudah harus
berdiri berdesakan di dalam bus.
Beberapa hari lalu, Liv terkena flu yang
dampaknya membuat semangatnya turun drastis bahkan hingga detik ini. Liv yang
biasanya heboh dan tak tanggung-tanggung memekik kegirangan meskipun sedang
berada di keramaian, kini hanya tertunduk lesu sembari memandang tasnya dengan
tatapan kosong.
Ada banyak sekali beban di otaknya. Selain
pelajaran matematika yang rumitnya minta ampun, atau kimia yang gurunya
ngejelasin nggak jelas dan memberikan dampak nilai ulangannya yang tercetak
angka 5 dengan bolpoin merah—yang membuatnya sempat uring-uringan karena baru
beberapa bulan ia menjadi siswa SMA dan nilainya sudah mengenaskan. Ada
beberapa pikiran lain. Ini tentang Kak Ibra. Gebetan Liv yang seharusnya sudah
peka terhadap perasaannya.
Beberapa minggu lalu, Liv benar-benar
mengagumi seniornya itu. Selain karena tampangnya yang oke, kulitnya yang putih
bersih, serta style-nya yang kece
abis, Kak Ibra ini tipikal kakak kelas yang nggak suka nindas junior-juniornya.
Justru dia itu ramah banget dan murah senyum. Bahkan dia pernah nyapa Liv:
“Belum pulang, Dek?” Padahal waktu itu kondisinya mereka baru pertama kali
tatap muka.
Atas dasar itu, perasaan suka merekah di hati
Liv. Awalnya sih, hanya sekedar memandang dari kejauhan. Tapi karena Tuhan yang
mengabulkan doa gadis bersurai cokelat itu yang siang-malam meminta supaya
didekatkan dengan Ibra. Keajaiban datang, kelas Ibra yang tadinya ada di lantai
dua dan membentang jauh dari kelas Liv, tiba-tiba dipindah menjadi tepat di
sebelah kelas Liv.
Itu sungguh keajaiban yang langsung disyukuri
Liv. Dengan begitu, ia bisa lebih lama mengonsumsi vitamin A yang membuat
matanya segar setiap saat. Hari berlalu dan keberanian muncul dalam benak Liv.
Kali ini ia ingin mengirim surat kepada kakak kelasnya itu. Syukurnya, dua
temannya dengan senang hati membantu. Yang satu, mencari tahu bangku kak Ibra,
yang satu lagi, membantunya meluncurkan aksi.
Pengiriman surat itu berlangsung hingga surat
ke-10. Liv sempat patah semangat karena tak mendapat respon sama sekali. Hingga
ia putuskan menulis surat ke-11 yang berbunyi: kadang kita bukan hanya membuang waktu untuk mencintai orang yang tidak
tepat, tapi juga menunggu orang yang salah.
Dan berlanjut hingga surat ke-12, yang
berbunyi: tak pernah kusesali hadirmu
yang menjelma setiap detak di jantungku.
Dan berakhir. Liv memutuskan tak lagi
mengirim surat.
Beberapa hari kemudian, ketika ia berjalan
melewati kelas Kak Ibra, ada beberapa cewek yang sedang duduk ngrumpi di bangku
semen yang tersedia. Nah, sewaktu Liv lewat, ada yang berbisik-bisik.
“Ini, ya, yang dimaksud?”
“Hah? Yang mana?”
“Oh, yang itu?”
“Iya, yang lagi jalan itu.”
“Kayaknya sih emang dia.”
“Berani bener sampe ngusik kelas dua belas,
ya?”
Yang terakhir itu, nadanya terdengar sinis
sekali. Membuat nyali Liv langsung ciut. Salahnya juga sampai jatuh hati dengan
kakak kelas dua belas yang jelas-jelas bentar lagi akan lulus. Padahal sudah
berulang kali ia camkan pada hatinya supaya mencari pengganti yang minimal
seangkatan dengannya atau.. cari adik kelaslah, biar nanti Liv yang ninggalin
dia, bukan dia duluan yang ninggalin Liv karena lebih dulu lulus. Sekali lagi,
cinta itu nggak butuh rumus yang dengan mudah menentukan kepada siapa kita
harus jatuh cinta.
Liv memandang ujung sepatunya, masih
menerawang. Ah, kak Ibra itu, walaupun sudah sekuat tenaga untuk melupakannya,
tetap saja cowok itu tak enyah dari kalbu. Dan gawatnya, teman sekelas kak Ibra
sudah banyak yang tahu tentang identitas Liv—sosok yang menyukai Ibra, yang
mengusiknya dengan seamplop surat ditemukan di atas meja saat pagi hari tanpa nama
pengirim, dan yang selalu memandangnya dari kejauhan.
Seharusnya Kak Ibra peka.
Mungkin dia memang sudah peka, tapi
menyembunyikannya.
Ya Lord, aku juga
ingin pura-pura nggak tahu seperti dia, yang padahal tahu semuanya.
Liv semakin menunduk dalam. Kecewa.
Pintu bus terbuka dan seorang ibu berbadan
gempal masuk bersama satu bayi di gendongannya dan satu anak kecil perempuan
digandengannya. Liv yang tak tega, segera bangkit dan menyerahkan bangkunya
pada ibu itu. Sebagai gantinya, Liv berpegangan dengan besi yang ada di dekat
pintu, lagipula sebentar lagi dia akan turun.
Tapi.. cittt,
bus direm mendadak. Tubuh Liv terhuyung bahkan hingga jatuh ke belakang,
menibani penumpang lain yang berdiri.
Malu! setengah sadar, Liv bergegas bangkit
dan meraih pegangan.
Bus kembali melaju. Dan sialnya, bus itu
kembali mengerem mendadak. Tubuh Liv terjerembap ke depan, untungnya ada
penumpang di depannya yang menahan tubuh Liv, kalau tidak, mungkin Liv akan
jatuh mengecup lantai bus.
Liv tepat terjatuh di dada penumpang itu,
buru-buru ia menarik diri.
“Maaf,” kata Liv yang sama sekali tak melihat
wajah penumpang tadi, sebab penumpang itu lebih tinggi darinya dan Liv malas
mendongak.
Tak terdengar respon.
Bus kembali melaju. Baru sebentar, kejadian
itu terulang lagi. untungnya, kali ini Liv hanya terhuyung kecil. Sebuah tangan
mencekal bahunya erat, menjaga supaya tubuh Liv tak terjatuh. Dengan cepat tangan
itu menarik tubuh Liv mengarah ke dalam rengkuhannya. Ini seperti kejadian
berpelukan sepasang kekasih!
Liv agak kaget dan secepat kilat ingin
melepas diri, namun sulit karena ia seorang gadis dan orang yang sedang
merengkuhnya adalah seorang laki-laki.
“Nggapapa, kamu aman,” bisik suara itu tepat
di daun telinga Liv.
Gadis itu mendongak dan... betapa terkejutnya
ia.
Kedua obsidian Liv membola sempurna. Bibirnya
beku, lidahnya kelu, ia tak bisa berkata apapun.
Laki-laki itu tersenyum ramah pada Liv, serta
memberikan tatap mata yang begitu meneduhkan, menenangkan.
“Kamu belum makan, ya? Bisa-bisanya jatuh
sampe tiga kali?”
Susah payah, Liv mencoba membalas.
“So-sopirnya tuh yang urakan.”
Laki-laki itu tertawa kecil, dan mempererat
rengkuhannya.
“Yaudah, biar aku jagain kamu supaya nggak
jatuh-jatuh lagi.”
Liv justru ingin melepaskan diri.
“Tolong lepasin, Kak.”
“Kenapa? Aku takut nanti kamu jatuh lagi.
Biar kamu ada dipelukanku aja, supaya aman.”
“Tapi, Kak Ib—“
“Sstt,
anggap aja ini permintaan maafku karena telat ngerespon kamu. Ok?”
“Maksudnya?”
Liv nggak bisa mencerna sama sekali ucapan
Ibra barusan.
Kakak kelasnya itu tersenyum kemudian
mendekatkan bibir ke daun telinga Liv.
“Kalau kamu nggak tau, berarti kamu nggak
peka,” bisiknya lalu kembali tersenyum.
Liv ingin menjawab, namun urung ketika
kondektur menyebutkan tempat yang menjadi tujuannya. Liv menarik diri dari
rengkuhan Ibra yang mulai mengendur.
Liv turun tanpa berkata apapun pada Ibra, dan
yang mengejutkan, Ibra juga turun!
“Loh? Kakak kok..?”
“Kan aku harus jagain kamu, harus selamat
sampe rumah.”
“...”
“Mau naik apa? Angkot atau taksi?”
Liv hanya memandang sosok itu penuh tanya.
“Biar aku cariin, atau aku tungguin sampe
kamu bener-bener dapet kalo kamu nggak mau aku cariin.”
“…???”
“Yaudah, kita naik taksi aja, ya?”
“Nggak usah, Kak, aku bisa pulang sendiri
kok.”
“Aku serius, Liv Sayang. Sebagai pacar, aku
harus bertanggung jawab penuh sama kamu. Jadi kamu jangan nolak gini dong. Ok?”
“…”
—FIN
0 Response to "Bus Incident"
Post a Comment