Halusinasi 3.03
Tengah
malam, Shashi baru membaringkan tubuhnya di ranjang berseprei hijau daun.
Matanya langsung terpejam, sudah tak kuat lagi untuk terjaga. Padahal tugas
sekolahnya masih belum selesai, namun apalah daya, ia pun terlelap karena
terlalu lelah.
Semua ini
karena Shashi mendapat kelompok yang tak suka bekerja sama, hanya suka
menggantungkan pada ketua, terutama Kania dan Yastira. Jadilah, hanya Shashi
dan Ravi yang mengerjakan hingga begadang.
Jam dinding
mengeluarkan suara tiap jarum berdetak. Waktu terus bergerak maju. Malam mulai
bergantikan pagi.
Tik tok.
Pukul 3.03
dini hari. Tidur Shashi terusik hingga ia pun terbangun. Tatkala membuka mata,
ia mendapati wajah Ravi yang tampan tengah tersenyum padanya. Setengah sadar,
Shashi pun mendudukkan diri. Ia berdiam sejenak untuk mengumpulkan rohnya yang
masih berkeliaran.
“Ravi,
ngapain?” tanya Shashi sembari mengucek sebelah matanya.
Lelaki
berpostur jangkung itu hanya diam, mengamati wajah Shashi selepas bangun tidur.
Kemudian ia duduk di tepi ranjang, tanpa melepas atensi dari wajah manis
menggemaskan milik Shashi.
“Ravi aneh,”
komentar Shashi ketika melihat kelakuan pacarnya. Padahal Ravi itu tipikal
manusia yang doyan bercanda dan jarang menampilkan wajah datar seperti
sekarang.
Shashi diam,
mengikuti permainan Ravi. Hanya diam dan saling pandang. Hingga detik ke lima.
Shashi menyerah.
“Aku nyerah,
Rav. Bentar, ya, aku mau ke toilet dulu.”
Shashi
bangkit berdiri dari ranjang. Sebelum meninggalkan cowoknya, Shashi mencubit
kedua pipi Ravi gemas.
“Pakai
jaket, Rav, kalau kedinginan,” ujar Shashi sembari menggosokkan kedua tangan di
pipi Ravi yang terasa dingin.
“Yaudah, aku
ke toilet dulu. Jangan kangen, ya, Rav. Hehe.”
Kemudian
langkah lebar Shashi bergerak ke luar kamar bernuansa biru laut, ya, kamarnya.
Sebenarnya, yang mengusik tidur Shashi memanglah ini; panggilan alam alias
kebelet pipis. Akan tetapi, mendapati wajah Ravi ketika terbangun, membuat
Shashi sejenak lupa akan alasannya itu.
“Kalau
dipikir-pikir, Ravi aneh,” batin Shashi, namun tak ambil pusing. “perasaanku doang kali, ya.”
Mendadak,
Shashi menghentikan langkah tungkainya. Menjadi waspada. “Jangan-jangan, tadi
Ravi mau nyium aku?” gumam Shashi syok.
“Tapi aku
yakin, Ravi bukan orang yang kayak gitu.”
“Iya, Ravi
nggak mungkin aneh-aneh.” Shashi mengangguk mantap.
Lalu kembali
merajut langkah menuju kamar mandi.
Tiba di
depan pintu, Shashi menahan langkahnya. Pintu kayu itu tertutup rapat. Dari
sela-sela, dapat dilihat warna putih lampu yang menyala.
Bentar deh,
ini yang di kamar mandi siapa?
Baru saja
Shashi hendak mendorong pintu untuk mengecek, sosok lelaki muncul membuka
pintu. Jelas, Shashi terhenyak, kaget.
“Loh, Ravi?
Sejak kapan kamu ngedahuluin aku?”
Lelaki itu
mengernyit. “Ngedahuluin apa?”
“Tadi kan
kamu di kamar.”
Ravi
terkekeh ringan. “Aduh, kamu itu, ya, baru juga ditinggal sebentar udah ngayal
tentang aku. Sayang sih boleh-boleh aja, Shash, tapi jangan sampe over gini dong.”
“Apa sih,
Rav?!” tanya Shashi linglung,
Ravi
mengusap puncak kepala kekasihnya gemas. “Shas, kamu kok linglung gitu, sih?”
Shashi
menggeleng. “Loh, enggak. Kan tadi kamu di kamar, terus aku tinggal mau ke
kamar mandi. Kok sekarang kamu di sini?”
“Apa sih,
Shash? Kamar kamu kan dikunci, gimana aku bisa masuk?”
Tubuh Shashi
mematung. Oh, iya, ya.
“Ckck, aku
tahu, aku emang ganteng, tapi.. masa sih kamu nggak bisa nyingkirin wajahku
dari pikiranmu sedetik pun?”
“Ih, apaan.”
Shashi menolak fakta tersebut.
“Ya udah,
aku mau tidur dulu di sofa ruang tamu. Baru aja, tugasnya aku selesaiin. Capek
banget nih. Kamu hapalin buat maju presentasi nanti, ya. Udah, ah, dadah.”
Ravi merajut
langkah ke ruang tamu.
Eh, tunggu
dulu, deh.
Shashi baru
sadar akan satu hal.
“Tadi yang
aku cubit, pipi siapa?”
-FIN.
0 Response to "Halusinasi 3.03 "
Post a Comment