Begin
Again
Something Different About Do
Mentari kian meredup
mengingat hari beranjak malam. Cahaya kuningnya berangsur hilang tatkala turun
tahta. Meski demikian, tak pernah surut tekadnya untuk melawan esok hari. Malam
begitu mencekam. Suara jangkrik yang melompat dari daun satu ke yang lain menimbulkan
gemerisik.
Langkah seorang pemuda
terhenti, sejemang mengedarkan pandangan penuh waspada. Jeritan burung gagak
terdengar nyaring menembus dahan. Pemuda itu terkesiap, sontak mengacungkan
pedang yang dibawa menuju daerah yang dirasa ada ancaman. Tetapi hanya seekor
kelinci yang melintas. Ia menyimpan pedangnya lalu melanjutkan perjalanan
panjang yang entah sampai kapan dilakoni.
Berpuluh-puluh kilometer
sudah kakinya melangkah. Merintih sudah kakinya mengusap peluh, namun belum jua
menemukan pedesaan. Lelah, letih betul pemuda itu tetapi enggan berhenti
menyusur hutan. Berkat perjalanan ini, sang petualang harus siap menahan perih
akibat dedurian yang menghujam kaki. Sesekali terpaksa berhenti mengobati diri.
Untunglah Tuhan ciptakan tumbuhan yang dapat mengobati.
Terakhir kali sang pemuda
berhenti sekitar lima hari lalu. Kini remuk tubuhnya sehabis terkena runtuhan
dahan pohon cukup besar. Persediaan air turut habis, bahan pangan tak
terkecuali. Bagaimanapun ia harus segera menemukan perkampungan.
Sebab tak tidur beberapa
hari, penglihatan pemuda itu mulai memburam. Kedua kakinya terasa sangat kaku,
juga pinggang yang menopang pedang. Samar-samar dapat dilihat sebuah bebatuan
besar di balik rimbunnya pepohonan. Ia melangkah pasti. Tertatih sesekali
terpeleset. Lemah betul fisiknya ketika ini.
“Sumber air,” gumamnya penuh
syukur. Setelah berhari-hari akhirnya ditemui juga sebuah sungai jernih yang
menyejukkan. Segera dibasuhlah kaki, tangan serta wajah yang telah kusam
menggunakan air sungai itu. Teramat sejuk hingga membuatnya terlelap belaian
angin.
**
“Harus kita apakan dia?”
“Berikanlah dulu kepada
Ketua, setelah itu baru kita bisa memutuskan.”
“Mengapa tak langsung
dibunuh saja? Lalu kita bisa membawanya pulang sebagai hidangan yang lezat.
Bukankah itu lebih baik? Lagipula persediaan daging kita semakin menipis.”
Pria bertubuh agak besar itu
menggeleng mantap.
Perlu waktu duapuluh menit
perjalanan dari sungai ke perkampungan minimalis suku pedalaman. Keempat
penduduk yang membopong seorang pemuda mulai tak nyaman tatkala warga lain
berbisik-bisik. Kemudian salah satunya pun memberi kode supaya memperlebar
langkah menuju rumah ketua.
“Ketua, kami menemukan orang
asing di pinggir sungai. Mungkin ia terlempar dari kapal dan hanyut terbawa arus.
Tetapi mencurigakan pula pakaiannya yang sangat berbeda ini. Dan juga kami
melihat pedang miliknya, apakah mungkin ia pemburu yang sengaja kemari?”
Pria yang nampak lebih tua,
lebih tinggi, serta lebih perkasa itu terdiam sejenak seolah sedang berpikir,
“Baringkan dia. Rawatlah jikalau ada yang terluka. Aku akan memikirkan apakah
yang sebaiknya kita lakukan.”
“Selalu tanpa penolakan,
Ketua. Permisi,” ujar perwakilan dari keempat pria lalu membawa tubuh pemuda
tadi ke salah satu tenda.
**
Perlahan kelopak matanya
terbuka, sedikit bergetar. Agak samar dan gelap. Selang beberapa detik, ia
mampu memperhatikan sekitar cukup jelas. Ada sebuah meja yang di atasnya
tertata rapi beberapa cawan kecil. Di bagian kanan terdapat lubang seperti
jendela. Cokelat, kayu, serabut, di manakah gerangan ia berada?
Tubuh pemuda yang tadinya
terbaring mendadak seperti terserang sengatan listrik yang membuatnya langsung
menegak. Seorang gadis berambut ikal hadir di depannya, memasang wajah terkejut
yang kentara—sama sepertinya.
“Maafkan aku karena
membuatmu terkejut tetapi aku harus mengobati lukamu. Apabila tak segera
diobati, mungkin usiamu tak lagi panjang,” ujarnya diakhiri senyum simpul.
Pemuda itu masih membeku, dwinetra menatap lurus wajah gadis yang membawa mangkuk
yang berisi obat herbal. Merasa tak direspon, gadis itu pun hanya kembali
mengoles obat yang diraciknya pada objek terluka.
“Ka-kau siapa?”
“Aku?”
“Karena.. kau telah
menolongku, Nona. Mungkin lain waktu apabila kita dipertemukan kembali, aku
bisa membayar kebajikanmu.”
Gadis itu tertawa kecil,
sekejap melepas fokus dari luka si pemuda, “Yeo.. jun.”
“Yeojun?” gadis itu
mengangguk membenarkan, “Namamu sangat cantik, layak apabila engkaulah yang
memiliki nama itu,” puji pemuda itu dibumbui senyum manis. Gadis itu kembali
mengoles ramuan di kaki si pemuda, tak mempedulikan sama sekali niat merayunya.
“Lantas siapakah engkau?
Mengapa berada di pinggir sungai? Aku yakin kau adalah penduduk asing.”
“Orang-orang biasa memanggilku
Kyungsoo, sang pemuda berani dari desa jauh sana. Hidupku bahagia dengan sebuah
keluarga. Sebagai anak tertua, akulah yang bertanggung jawab atas kelangsungan
hidup adik-adikku. Akan tetapi baru saja aku tahu mengenai rahasia terbesar
dalam hidupku. Sehingga tekad kuat telah bersarang dalam hati supaya
meninggalkan desa. Kini aku menyebut diriku sebagai Sang Petualang.”
Yeojun meletakkan mangkuk
diatas meja, “Rahasia besar mengenai apa?” tanyanya ingin tahu. Setelah
mengambil gelas dan mengisinya dengan air, Yeojun memberikan gelas itu pada si
pemuda.
“Terima kasih sudah
membantuku. Tampaknya aku harus segera pergi dari sini, perjalananku masih
panjang.”
“Tidak boleh!” tegas Yeojun
dengan nada tinggi. Sontak membuat kening Kyungsoo berkerut keheranan, “Kau
masih butuh istirahat. Bagaimanapun juga kau harus tetap tinggal disini,
kira-kira sampai lukamu menutup.”
“Tidak perlu Yeojun, aku
baik-baik saja—“
“Tinggallah sejenak,
Kyungsoo,” pinta Yeojun seraya menahan langkah pemuda itu yang hendak bangkit
dari pembaringan. Melihat sorot mata gadis itu, hati Kyungsoo pun luluh.
Mungkin tinggal beberapa hari lagi tak masalah, pikirnya.
“Baiklah, tetapi jangan
memanggilku dengan nama itu. Sapalah aku dengan nama.. Do.”
“Do? Mengapa Do?” Yeojun
mengernyit menutur nama itu.
“Do untuk melakukan segala hal. Aku seorang petualang yang tangguh.
Apapun akan kulakukan dengan sekuat tenaga. Sekarang namaku adalah Do,” jelas
Kyungsoo.
Yeojun hanya mengangguk,
“Dari manakah asalmu, Do? Aku harus tahu hal ini untuk pendataan.”
**
Kerut di wajah pria itu
nampak jelas ketika baru saja putrinya menyebutkan nama tempat yang terkenal.
Ia meletakkan gelas di meja, lalu mendekati putrinya yang berada di dekat
jendela.
“Apa katamu? Sierra? Bocah
itu berasal dari sana?”
Raga gadis itu membalik
menghadap sang ayah, “Aku tahu itu Ayah, kita bisa menggunakannya dalam ritual
pembangkitan. Ayah tahu sendiri kan jikalau tempat itu terkenal sangat sakral,
maka kekuatan yang akan dihasilkan apabila kita menggunakannya akan bertambah
kuat. Kita bisa memberi kehidupan bagi Ibu lebih lama lagi.”
Pria itu tersenyum miring,
“Maka buatlah dia nyaman denganmu, Nak. Lakukan apapun supaya ia bersedia
berkorban demi dirimu,” tukasnya sarkastis.
**
Hidup Do di desa baru tak menyurutkan niat untuk membantu
sesama. Sudah menjadi bawaan sejak lahir baginya untuk selalu menjaga
solidaritas dan tolong menolong. Meski minim tentang informasi desa, Do selalu
menyempatkan bertanya sedikit demi sedikit sehingga kurag lebihnya ia mengerti.
Banyak hal yang dapat diperbuat oleh Do, antara lain: mencari kayu bakar,
berburu, menyiapkan makan malam, serta membantu Yeojun mengobati warga yang
sakit.
“Aku bisa membawanya, Do,” tukas Yeojun kesembilan
kalinya namun Do tak pernah mau mendengar. Pemuda itu tetap ngotot untuk
membawakan akar tanaman obat padahal di tangannya telah bertengger sebuah
keranjang berisi dedaunan dan obat alami hasil hutan.
“Yeojun, aku ini seorang pria. Mana mungkin aku
membiarkanmu membawanya?”
“Nona Yeojun, tolonglah anakku, dia terserang babi
hutan..” belum usai si Ibu itu berbicara namun Yeojun telah memotong dengan
menyuruhnya bergegas ke tenda pengobatan. Dengan lihai gadis itu memeriksa
keadaan bocah lelaki yang merintih kesakitan, kemudian menumbuk beberapa akar
tanaman dan dioleskannya di bagian luka si bocah. Hanya dalam lima menit
pekerjaannya telah usai.
Do membantu si Ibu beserta anaknya untuk keluar dari
tenda, lalu kembali menghampiri Yeojun yang masih sibuk membuat ramuan yang
sama sekali tak dimengerti Do.
“Yeojun, aku bangga kepadamu. Kau sangat mahir dalam
bidang kesehatan,” puji Do diiringi senyum simpul yang manis.
“Benarkah?” sahut Yeojun bersikap tak berlebihan.
“Aku senang dapat bertemu denganmu, Yeojun,” tutur Do
tulus. Senyum di bibirnya kembali mengembang hingga membuat lengkung berbentuk
hati. Yeojun melihatnya terpana, begitu indah bentuk bibir Do tatkala
tersenyum. Mengapa baru kali ini ia menyadari?
“Lupakan tentang itu, Do, bantulah aku membuat ramuan
ini,” bergegas Yeojun mengalihkan pandangan dari keterpukauannya terhadap
pemuda asing itu. Yeojun kembali menumbuk ramuannya.
“Ramuan apa?”
“Sebentar lagi kami akan mengadakan perjalanan panjang,
untuk berjaga-jaga aku membuat ramuan obat ini. Aku tak tahu berapa lama
perjalanannya dan berapa orang yang akan terluka nanti, tapi semoga saja ramuan
ini cukup.”
Do mengernyit, “Kau akan berperang?”
“Tidak, Do, tak ada alasan untuk berperang dan dengan
siapa kita akan melakukannya?” Yeojun terkekeh, “Aku akan menemui Ibuku lagi.”
“Ibumu?”
“Hmm,” gumamnya mengiyakan, “dia sudah meninggal” Air
mata Yeojun berurai menuturkannya, “aku berharap ada cara untuk
menyelamatkannya.”
Do trenyuh melihatnya, diputuskanlah untuk mengelus
pundak Yeojun setulus mungkin, “Aku tidak tahu apakah hal itu ada, tetapi akan
lebih baik bila kau mengikhlaskannya saja,” tutur Do hati-hati, takut kalau
Yeojun akan tambah bersedih. Tetapi dengan tegas gadis itu menggeleng.
“Aku akan melakukan apapun untuk membangkitkan Ibu. Pasti
ada cara untuk membuatnya bangun, aku jamin itu,” ujarnya lugas seraya menatap
Do dalam.
[]
0 Response to "D.O | 01"
Post a Comment