D.O | 01

Begin Again

Something Different About Do

 

Mentari kian meredup mengingat hari beranjak malam. Cahaya kuningnya berangsur hilang tatkala turun tahta. Meski demikian, tak pernah surut tekadnya untuk melawan esok hari. Malam begitu mencekam. Suara jangkrik yang melompat dari daun satu ke yang lain menimbulkan gemerisik.

 

Langkah seorang pemuda terhenti, sejemang mengedarkan pandangan penuh waspada. Jeritan burung gagak terdengar nyaring menembus dahan. Pemuda itu terkesiap, sontak mengacungkan pedang yang dibawa menuju daerah yang dirasa ada ancaman. Tetapi hanya seekor kelinci yang melintas. Ia menyimpan pedangnya lalu melanjutkan perjalanan panjang yang entah sampai kapan dilakoni.

 

Berpuluh-puluh kilometer sudah kakinya melangkah. Merintih sudah kakinya mengusap peluh, namun belum jua menemukan pedesaan. Lelah, letih betul pemuda itu tetapi enggan berhenti menyusur hutan. Berkat perjalanan ini, sang petualang harus siap menahan perih akibat dedurian yang menghujam kaki. Sesekali terpaksa berhenti mengobati diri. Untunglah Tuhan ciptakan tumbuhan yang dapat mengobati.

 

Terakhir kali sang pemuda berhenti sekitar lima hari lalu. Kini remuk tubuhnya sehabis terkena runtuhan dahan pohon cukup besar. Persediaan air turut habis, bahan pangan tak terkecuali. Bagaimanapun ia harus segera menemukan perkampungan.

 

Sebab tak tidur beberapa hari, penglihatan pemuda itu mulai memburam. Kedua kakinya terasa sangat kaku, juga pinggang yang menopang pedang. Samar-samar dapat dilihat sebuah bebatuan besar di balik rimbunnya pepohonan. Ia melangkah pasti. Tertatih sesekali terpeleset. Lemah betul fisiknya ketika ini.

 

“Sumber air,” gumamnya penuh syukur. Setelah berhari-hari akhirnya ditemui juga sebuah sungai jernih yang menyejukkan. Segera dibasuhlah kaki, tangan serta wajah yang telah kusam menggunakan air sungai itu. Teramat sejuk hingga membuatnya terlelap belaian angin.

 

**

 

“Harus kita apakan dia?”

 

“Berikanlah dulu kepada Ketua, setelah itu baru kita bisa memutuskan.”

 

“Mengapa tak langsung dibunuh saja? Lalu kita bisa membawanya pulang sebagai hidangan yang lezat. Bukankah itu lebih baik? Lagipula persediaan daging kita semakin menipis.”

 

Pria bertubuh agak besar itu menggeleng mantap.

 

Perlu waktu duapuluh menit perjalanan dari sungai ke perkampungan minimalis suku pedalaman. Keempat penduduk yang membopong seorang pemuda mulai tak nyaman tatkala warga lain berbisik-bisik. Kemudian salah satunya pun memberi kode supaya memperlebar langkah menuju rumah ketua.

 

“Ketua, kami menemukan orang asing di pinggir sungai. Mungkin ia terlempar dari kapal dan hanyut terbawa arus. Tetapi mencurigakan pula pakaiannya yang sangat berbeda ini. Dan juga kami melihat pedang miliknya, apakah mungkin ia pemburu yang sengaja kemari?”

 

Pria yang nampak lebih tua, lebih tinggi, serta lebih perkasa itu terdiam sejenak seolah sedang berpikir, “Baringkan dia. Rawatlah jikalau ada yang terluka. Aku akan memikirkan apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

 

“Selalu tanpa penolakan, Ketua. Permisi,” ujar perwakilan dari keempat pria lalu membawa tubuh pemuda tadi ke salah satu tenda.

 

**

 

Perlahan kelopak matanya terbuka, sedikit bergetar. Agak samar dan gelap. Selang beberapa detik, ia mampu memperhatikan sekitar cukup jelas. Ada sebuah meja yang di atasnya tertata rapi beberapa cawan kecil. Di bagian kanan terdapat lubang seperti jendela. Cokelat, kayu, serabut, di manakah gerangan ia berada?

 

Tubuh pemuda yang tadinya terbaring mendadak seperti terserang sengatan listrik yang membuatnya langsung menegak. Seorang gadis berambut ikal hadir di depannya, memasang wajah terkejut yang kentara—sama sepertinya.

 

“Maafkan aku karena membuatmu terkejut tetapi aku harus mengobati lukamu. Apabila tak segera diobati, mungkin usiamu tak lagi panjang,” ujarnya diakhiri senyum simpul. Pemuda itu masih membeku, dwinetra menatap lurus wajah gadis yang membawa mangkuk yang berisi obat herbal. Merasa tak direspon, gadis itu pun hanya kembali mengoles obat yang diraciknya pada objek terluka.

 

“Ka-kau siapa?”

 

“Aku?”

 

“Karena.. kau telah menolongku, Nona. Mungkin lain waktu apabila kita dipertemukan kembali, aku bisa membayar kebajikanmu.”

 

Gadis itu tertawa kecil, sekejap melepas fokus dari luka si pemuda, “Yeo.. jun.”

 

“Yeojun?” gadis itu mengangguk membenarkan, “Namamu sangat cantik, layak apabila engkaulah yang memiliki nama itu,” puji pemuda itu dibumbui senyum manis. Gadis itu kembali mengoles ramuan di kaki si pemuda, tak mempedulikan sama sekali niat merayunya.

 

“Lantas siapakah engkau? Mengapa berada di pinggir sungai? Aku yakin kau adalah penduduk asing.”

 

“Orang-orang biasa memanggilku Kyungsoo, sang pemuda berani dari desa jauh sana. Hidupku bahagia dengan sebuah keluarga. Sebagai anak tertua, akulah yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup adik-adikku. Akan tetapi baru saja aku tahu mengenai rahasia terbesar dalam hidupku. Sehingga tekad kuat telah bersarang dalam hati supaya meninggalkan desa. Kini aku menyebut diriku sebagai Sang Petualang.”

 

Yeojun meletakkan mangkuk diatas meja, “Rahasia besar mengenai apa?” tanyanya ingin tahu. Setelah mengambil gelas dan mengisinya dengan air, Yeojun memberikan gelas itu pada si pemuda.

 

“Terima kasih sudah membantuku. Tampaknya aku harus segera pergi dari sini, perjalananku masih panjang.”

 

“Tidak boleh!” tegas Yeojun dengan nada tinggi. Sontak membuat kening Kyungsoo berkerut keheranan, “Kau masih butuh istirahat. Bagaimanapun juga kau harus tetap tinggal disini, kira-kira sampai lukamu menutup.”

 

“Tidak perlu Yeojun, aku baik-baik saja—“

 

“Tinggallah sejenak, Kyungsoo,” pinta Yeojun seraya menahan langkah pemuda itu yang hendak bangkit dari pembaringan. Melihat sorot mata gadis itu, hati Kyungsoo pun luluh. Mungkin tinggal beberapa hari lagi tak masalah, pikirnya.

 

“Baiklah, tetapi jangan memanggilku dengan nama itu. Sapalah aku dengan nama.. Do.”

 

“Do? Mengapa Do?” Yeojun mengernyit menutur nama itu.

 

Do untuk melakukan segala hal. Aku seorang petualang yang tangguh. Apapun akan kulakukan dengan sekuat tenaga. Sekarang namaku adalah Do,” jelas Kyungsoo.

 

Yeojun hanya mengangguk, “Dari manakah asalmu, Do? Aku harus tahu hal ini untuk pendataan.”

 

**

 

Kerut di wajah pria itu nampak jelas ketika baru saja putrinya menyebutkan nama tempat yang terkenal. Ia meletakkan gelas di meja, lalu mendekati putrinya yang berada di dekat jendela.

 

“Apa katamu? Sierra? Bocah itu berasal dari sana?”

 

Raga gadis itu membalik menghadap sang ayah, “Aku tahu itu Ayah, kita bisa menggunakannya dalam ritual pembangkitan. Ayah tahu sendiri kan jikalau tempat itu terkenal sangat sakral, maka kekuatan yang akan dihasilkan apabila kita menggunakannya akan bertambah kuat. Kita bisa memberi kehidupan bagi Ibu lebih lama lagi.”

 

Pria itu tersenyum miring, “Maka buatlah dia nyaman denganmu, Nak. Lakukan apapun supaya ia bersedia berkorban demi dirimu,” tukasnya sarkastis.

 

**

 

Hidup Do di desa baru tak menyurutkan niat untuk membantu sesama. Sudah menjadi bawaan sejak lahir baginya untuk selalu menjaga solidaritas dan tolong menolong. Meski minim tentang informasi desa, Do selalu menyempatkan bertanya sedikit demi sedikit sehingga kurag lebihnya ia mengerti. Banyak hal yang dapat diperbuat oleh Do, antara lain: mencari kayu bakar, berburu, menyiapkan makan malam, serta membantu Yeojun mengobati warga yang sakit.

 

“Aku bisa membawanya, Do,” tukas Yeojun kesembilan kalinya namun Do tak pernah mau mendengar. Pemuda itu tetap ngotot untuk membawakan akar tanaman obat padahal di tangannya telah bertengger sebuah keranjang berisi dedaunan dan obat alami hasil hutan.

 

“Yeojun, aku ini seorang pria. Mana mungkin aku membiarkanmu membawanya?”

 

“Nona Yeojun, tolonglah anakku, dia terserang babi hutan..” belum usai si Ibu itu berbicara namun Yeojun telah memotong dengan menyuruhnya bergegas ke tenda pengobatan. Dengan lihai gadis itu memeriksa keadaan bocah lelaki yang merintih kesakitan, kemudian menumbuk beberapa akar tanaman dan dioleskannya di bagian luka si bocah. Hanya dalam lima menit pekerjaannya telah usai.

 

Do membantu si Ibu beserta anaknya untuk keluar dari tenda, lalu kembali menghampiri Yeojun yang masih sibuk membuat ramuan yang sama sekali tak dimengerti Do.

 

“Yeojun, aku bangga kepadamu. Kau sangat mahir dalam bidang kesehatan,” puji Do diiringi senyum simpul yang manis.

 

“Benarkah?” sahut Yeojun bersikap tak berlebihan.

 

“Aku senang dapat bertemu denganmu, Yeojun,” tutur Do tulus. Senyum di bibirnya kembali mengembang hingga membuat lengkung berbentuk hati. Yeojun melihatnya terpana, begitu indah bentuk bibir Do tatkala tersenyum. Mengapa baru kali ini ia menyadari?

 

“Lupakan tentang itu, Do, bantulah aku membuat ramuan ini,” bergegas Yeojun mengalihkan pandangan dari keterpukauannya terhadap pemuda asing itu. Yeojun kembali menumbuk ramuannya.

 

“Ramuan apa?”

 

“Sebentar lagi kami akan mengadakan perjalanan panjang, untuk berjaga-jaga aku membuat ramuan obat ini. Aku tak tahu berapa lama perjalanannya dan berapa orang yang akan terluka nanti, tapi semoga saja ramuan ini cukup.”

 

Do mengernyit, “Kau akan berperang?”

 

“Tidak, Do, tak ada alasan untuk berperang dan dengan siapa kita akan melakukannya?” Yeojun terkekeh, “Aku akan menemui Ibuku lagi.”

 

“Ibumu?”

 

“Hmm,” gumamnya mengiyakan, “dia sudah meninggal” Air mata Yeojun berurai menuturkannya, “aku berharap ada cara untuk menyelamatkannya.”

 

Do trenyuh melihatnya, diputuskanlah untuk mengelus pundak Yeojun setulus mungkin, “Aku tidak tahu apakah hal itu ada, tetapi akan lebih baik bila kau mengikhlaskannya saja,” tutur Do hati-hati, takut kalau Yeojun akan tambah bersedih. Tetapi dengan tegas gadis itu menggeleng.

 

“Aku akan melakukan apapun untuk membangkitkan Ibu. Pasti ada cara untuk membuatnya bangun, aku jamin itu,” ujarnya lugas seraya menatap Do dalam.

 

[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "D.O | 01"

Post a Comment