I Wanna Hold Your Hand

I Wanna Hold Your Hand

 

TBZ’s JuyeonOC’s Seola | Romance | PG-15 | ©January 4, 2018

 

SESUAI rencana yang telah dimantapkan sejak seminggu yang bahkan sudah dipersiapkan berbulan-bulan lalu. Kini, aku menemani Seola pergi nonton film horor terbaru yang sudah terkenal sedunia, Insidious. Tahun ini yang keempat. Ayolah, bahkan aku belum menonton film itu dari seri pertama hingga ketiga. Namun, demi cewek manis satu ini, aku rela nonton film horor yang sejujurnya tak terlalu kusuka.

 

“Juy, aku laper nih,” adu gadis bersurai cokelat sambil memasang ekspresi kelaparan. Eh, tunggu dulu deh, bukannya seminggu yang lalu rambut Seola masih berwarna orange?

 

“Juyyy! Denger nggak sih aku ngomong? Ditanggepin kek,” gerutunya. Wajahnya kalau sedang kesal memang menggemaskan. Antara cemberut, melas, tapi juga wajah bête. Belum lagi kalau bibirnya dikerucutkan seperti anak kecil begitu. Lucu.

 

“Iya, denger kok. Mau makan dulu?”

 

“Mau, tapi aku bingung mau makan apa. Enaknya makan apa, Juy?”

 

Seola menengadahkan wajahnya, menatap mukaku yang tampan. Nggak, ini sih cuman aku yang kepedean. Seola menengadah karena dia memang lebih pendek dariku.

 

“Nasi goreng?”

 

Ia bergumam pelan sambil memutar-mutar bola matanya. “Nggak ah, nanti gendut. Nanti kamu nggak suka sama aku lagi.”

 

Aku sedikit terhenyak mendengar alasan tak masuk akalnya. Apa coba maksudnya berkata begitu? Aku nggak akan suka lagi sama dia karena dia gendut? Please deh, people falling in love with moments not with how slim she is.

 

“Beli aja cemilan, teokbokki kesukaan kamu kek atau chicken popcorn kayak biasanya,” saranku.

 

“Hmm.. jadi pengen nyipok!”

 

Tentu, bola mata ku langsung membola mendengar kalimat Seola yang frontal. Aku hendak memrotes, namun terdahului olehnya.

 

“Maksudku, chicken popcorn! Bukan nyipok dalam artian mau nyium kamu.” Kemudian Seola menjulurkan lidahnya, meledekku atas kesalahpahaman yang telah kucerna. Kadang, aku kesal dengan penjual yang memberi nama dagangannya chicken popcorn dan disingkat menjadi cipoc. Ambigu banget, kan?

 

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala heran. Seola itu cewek ter-nggak punya malu yang kukenal. Dia itu asal ngomong, nggak peduli apa akibatnya. Yang penting dia nyaman, seneng, bahagia.

 

“Kalo ngomong tuh dijaga,” kritikku.

 

“Bodo amat. Terserah mereka mau mikir apa, kan niatku nggak maksud yang gimana-gimana. Orang pengen nyipok makanan.”

 

Helaan napas pasrah terembus dari hidung mancungku. Terserah apa kata dia aja deh. Seringnya, cowok itu emang harus tutup mulut biar nggak bikin mood cewek ancur.

 

Akhirnya, aku menemani Seola membeli chicken yang dipotong kecil-kecil yang dimasukkan pada sebuah cup layaknya popcorn. Kemudian kami duduk di salah satu bangku yang ada di food court. Karena weekend, suasana menjadi sangat ramai. Banyak orang yang berkeliaran dan itu membuatku sedikit canggung.

 

“Kenapa, Juy? Nggak nyaman main sama aku, ya?” tegur Seola santai seolah hatinya tak apa.

 

“Mana mungkin.”

 

“Ya terus kenapa keliatan gelisah gitu? Kebelet poop, ya?”

 

“Seol, bisa nggak kalo ngomong dipikir dulu? Ini di food court.”

 

“Ya terus?”

 

“Ya otomatis orang-orang di sini pada makan lah. Kalau mereka denger kata-kata kamu tadi, kan nggak enak.”

 

“Aku biasa aja tuh.”

 

Lagi-lagi, aku hanya menghela napas. Enggan memperpanjang urusan sepele ini.

 

Seola sibuk menikmati makanannya. Sedangkan aku sibuk mengamatinya dan sesekali menyelingi pembicaraan ringan.

 

Seo La Mi, kerap kusapa Seola. Adalah gadis seangkatanku di SMA, namun umur kami terpaut tujuh bulan. Meski lebih tua dia, sikapnya jelas dewasa aku. Entah aku yang terlalu cepat dewasa atau dia yang kelewat lambat tumbuh. Sungguh, dalam bersikap, Seola itu super kekanak-kanakan dan nggak berorientasi ke depan.

 

Kami sudah berteman sejak kelas 1 SMA di semester akhir. Kalau dihitung-hitung sih, kira-kira kita sudah satu tahun setengah menjalin hubungan pertemanan. Akan tetapi, pertemanan kami ini tidak biasa. Seperti berteman, namun ada rasa. Aku pernah mengaku suka padanya, dan sebaliknya, ia pun pernah bilang suka padaku. Mungkin bisa dibilang kalau kita itu saling suka, tetapi nggak mau pacaran. Anggap aja friend-zone.

 

“Kemarin, ada kucing tetanggaku masa poop sembarangan. Terus, nggak sengaja aku nginjek eeknya, Juy. Sedih banget,” ocehnya sambil mengunyah potongan ayam di mulut, dan jemari kiri yang mengetuk-ketuk meja.

 

Mataku tertuju ke jari-jemari lentik Seola yang berkulit sawo matang, eksotis. Menggoda untuk digenggam. Aku sama sekali tak menggubris keluhan nggak bermutunya mengenai poop kucing tetangganya itu. Aku hanya fokus pada tangannya, rasa ingin menggenggamnya, dan mengajaknya berjalan-jalan di taman yang penuh dengan kebahagiaan.

 

“Juy, mau nggak? Aku kekenyangan.”

 

“Hah?”

 

“A! Aku suapin ayam spesial nih,” Seola terkekeh ringan. Kekehan yang terdengar renyah dan sangat merdu di runguku. “AA, Juy!”

 

Dengan sungkan, aku pun membuka mulutku dan Seola menyuapi dengan senang hati. Sometimes, aku ingin meresmikan hubungan kami. Namun, bayang-bayang putus yang akan membuat hubungan retak dan sulit diperbaiki selalu mengusik tidur malamku. Kupikir, akan lebih baik apabila kita seperti ini saja. Faktanya, nggak juga. Ketika dia jalan sama cowok lain, rasanya aku cemburu, namun apa hakku untuk mengungkapkan kecemburuan itu?

 

Setiap ia tertawa lepas dengan pria lain, hatiku tercabik. Lelaki juga punya perasaan, kau harus tahu itu. Bahkan ketika ia pamer foto mesra berupa sepasang tangan yang saling bertaut erat, aku cemburu dan marah. Ingin sekali saat itu aku menghampirinya dan mengutarakan seberapa murkanya hatiku. Aku ingin menggenggam tangannya, mesra dan hangat, tanpa mau kulepaskan. Tapi, aku punya hak apa?

 

“Fotomu yang gandengan tangan itu, Seol..”

 

“Kenapa? Cemburu, ya?”

 

Tepat sekali. Tetapi, ingat: bukan lelaki namanya jika tak mengandalkan egonya.

 

“Mana ada. Cuma mau bilang, langgeng aja sama dia.”

 

“Dia siapa?”

 

“Ya itu, yang tangannya kamu genggam erat.”

 

Seola tampak berusaha menahan tawa, namun akhirnya membuncah juga. Ia terbahak.

 

Keningku mengernyit, “kok ketawa?”

 

“Itu sama adek aku, tau! Cemburu bilang aja kaliiiii, gengsi segalaaa. Hahaha.”

 

Aku tak bisa berkutik. Aku tak bisa mengelak atau menyanggahnya. Alhasil, aku hanya diam sepanjang ia tertawa lepas. Sekaligus aku menikmati kebahagiaan yang ia pancarkan. Salah satu hal yang membuatku jatuh hati padanya adalah betapa ia bisa lepas mengatakan pada dunia jika ia bahagia. Lewat senyum lebar maupun tawa renyahnya yang terus terngiang-ngiang di kepala.

 

∞∞∞

 

TEMPAT duduk paling belakang di barisan tengah menjadi tempat favoritku menonton film kapan pun dan dimana pun dengan siapa pun. Di sana, aku duduk bersebelahan dengan gadis yang menjadi penguasa di hatiku saat ini. Seo Lami.

 

“Beli popcorn, Juy, sekalian minumnya,” bisik Seola. Wajahnya benar-benar dekat denganku. Bahkan dapat kurasakan hangatnya setiap embusan napas yang membentur kulit wajahku.

 

“Duit?”

 

“Yaelah, sama pacar sendiri kok gitu,” sinisnya seraya merogoh dompet.

 

“Pacar?” Aku mengernyit tidak setuju. Heloo, kapan I shoot her dan kapan kita jadian sih? Suka ngayal deh manusia satu ini.

 

“Kenapa? Orang-orang bilang gitu, wek! Nih duitnya, dasar pelit!” tukas Seola.

 

Aku pun berjalan menghampiri penjual popcorn yang sedang menawarkan jajanannya pada pengunjung lain.

 

Aku dan Seola memang sering diperbincangkan semenjak aku mengantarkannya pulang. Herannya, kenapa bisa gosip receh yang partisipannya adalah aku dan Seola bisa menyebar sangat luas seolah berita ini adalah berita panas yang penting. Begini, aku tak merasa tenar-tenar amat karena yah, wajah aja pas-pasan begini, nggak ikut ekskul basket—yang secara, pasti banyak peminatnya dan banyak penggemarnya. Jadi, apa alasannya berita dating Juyeon dan Seola bisa menghebohkan sekolah? Hm, Seola juga nggak begitu terkenal. Tapi mungkin, keramahannya yang menyapa siapa saja itu bikin ia dikenal. Apalagi hobinya yang gonta-ganti warna rambut. Sampai-sampai, Seola dikenal sebagai Queen Rainbow karena dia pernah mengecat rambutnya seperti warna pelangi. Dan satu catatan nih, sekolah kami adalah sekolah swasta yang mengutamakan prestasi, bukan penampilan. So, mau dandan semenor apapun, rok sependek apapun, rambut gondrong, itu nggak dipermasalahkan sama sekali.

 

Aku kembali duduk di tempatku. Seola lahap mencomot popcornnya. Btw, aku ingat, tadi dia bilang kekenyangan dan menyuapiku sisa ayamnya. Tapi sekarang malah makan popcorn serakusnya. Cewek itu susah dipahami.

 

“Jangan teriak nggak jelas ya, Juy. Hihihi,” Seola terkikik mengejekku. Dulu, aku pernah cerita padanya kalau aku tak suka horor karena itu sangat menyeramkan dan menakutkan apalagi kalau nonton di bioskop yang suaranya keras banget.

 

“Jangan-jangan ntar malah kamu yang ketakutan sampe nangis-nangis, haha.”

 

“Nggak, wek!”

 

Lampu pun dimatikan. Ruangan menjadi sangat gelap. Layar di depan sana mulai menampilkan cahaya. Adegan per adegan mulai terjadi.

 

Seola tampak biasa saja. Ia menonton sambil mengunyah popcornnya santai. Hingga suatu adegan mengejutkan terjadi di film. Suara menggelegar di studio. Saat itu pula banyak penonton yang menjerit kaget. Sedangkan Seola malah terbatuk-batuk karena tersedak popcorn.

 

“Minum dulu, Seol.”

 

Ia mengangguk-angguk, masih terbatuk-batuk. Ia sedot minumannya beberapa kali, tapi batuk itu tak juga reda. Sampai beberapa penonton menoleh ke arah Seola karena merasa terganggu.

 

“Maaf, maaf,” lirihku pada mereka.

 

Kini tanganku terjulur ke punggungnya. Kutepuk-tepuk pelan, siapa tahu membantu. Dua detik berikutnya, barulah batuk itu mereda. Menyisakan linangan air mata di pelupuk Seola. C’mon, Seol, ini film horor bukan film sad. Haha.

 

Setelah itu, Seola tak lagi melahap popcornnya. Ia sibuk menikmati setiap adegan. Ia sibuk menjerit setiap back sound membuat berdebar-debar dan boom! Tiba-tiba saja hantu muncul.

 

“AAA AAA!” jerit Seola. Ia menutup matanya dengan kedua tangan setelah itu.

 

“Katanya berani, tapi malah ditutupin gitu,” bisikku meledek.

 

“Nakutin tau, Juy.”

 

“Namanya juga film horror. Kalau mau yang so sweet, ya film romance dong.”

 

“Beris—AAA SUMPAH ITU AN—“ Seola menahan umpatannya di ujung lidah ketika lagi-lagi hantunya muncul.

 

Dan..

 

“Sor—ri..” ujar Seola canggung ketika ia menyadari tangannya sudah meremas tanganku ketika berteriak tadi.

 

Ia pun menggerakkan tangannya untuk menjauh. Namun, buru-buru aku menahannya. Dan kugenggam tangannya hangat. Jujur, aku sungkan. Tapi.. kapan lagi bisa gini?

 

Seola menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan. Campur aduk. Sama seperti hatiku yang kini berdegup-degup tak keruan. Rasa gerah menjalar di seluruh tubuhku padahal AC berhembus segar.

 

Kucoba mengulas senyum seasyik mungkin, namun sepertinya nggak berhasil. Karena sudut-sudut bibirku terasa kaku.

 

Seola mengerjap-kerjapkan kelopaknya.

 

“Hm.. Juy? Tangan..”

 

Let me hold your hand,” potongku cepat.

 

You have done, anyway, hehe.” Seola terkekeh garing.

 

Kurasakan tangannya bergerak gelisah di dalam genggamanku. Aku pun memberi celah untuk pori-pori tangannya bernapas lalu kutautkan ragu-ragu jemariku di sela-sela jari lentiknya. Rasanya aneh. Seperti ada gejolak yang menggelitik di perutku lalu bergerak naik hingga menjadi desir aneh di dada. Kutelan saliva, gugup dan cemas.

 

Perasaan ini baru. Sangat baru, dan pertama kali kurasakan. Perasaan yang hadir ketika aku menggenggam tangan gadis yang kusayangi for the first time. Rasa aneh yang menggelitik.

 

I just want to hold your hand, don’t let go of our…”

 

Seola tersenyum simpul, sangat manis, sembari menggerakkan jemarinya untuk menggenggam balik tanganku.

 

I will not.”

 

[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "I Wanna Hold Your Hand"

Post a Comment