Semesta Tak Merestui

Semesta Tak Merestui


ARIANA tengah mengayun-ayun kakinya sembari melirik sana-sini. Sekolahnya mulai terasa sunyi, mengingat ekskul yang belum dimulai lagi semenjak libur semester, juga bel pulang yang sudah berdering sejak tadi. Ruang kelas di depannya juga sudah kosong bahkan pintunya sudah digembok.

 

Lalu kenapa gadis ini belum pulang?

 

“Sori lama, Ri,” ujar seorang laki-laki yang memecah lamunan gadis bersurai hitam legam itu.

 

Ariana sedikit menelengkan kepala lalu tersenyum memaklumi sambil menganggukkan kepala. Yap, Ariana menunggu seorang cowok ini.

 

“Yaudah yuk pulang, atau mau mampir cari makan dulu?”

 

“Hmm, terserah aja deh.”

 

“Nurut kamulah, anggap aja sebagai permintaan maaf karna bikin kamu nunggu di sini sendirian.”

 

“Nggapapa lagi. Aku kan udah biasa nunggu, apalagi nunggu doi yang nggak peka-peka hehe,” canda Ariana. Yang tanpa disadari cowok di hadapannya, ada lirikan mata yang bermakna dalam.

 

“Dasar! Kan ada aku, nggak perlu doi.” Mahez mengusap puncak kepala gadis yang lebih pendek darinya itu dengan perasaan gemas, sampai-sampai kalau tak ia tahan, mungkin ia sudah mencubit kedua pipi Ariana.

 

Tangan Ariana mencengkeram pergelangan Mahez sehingga pergerakannya berhenti. Ada jeda sepersekian detik yang menciptakan kecanggungan, namun segera pudar oleh suara manja gadis itu.

 

“Jangan dong, nanti rambut aku nggak rapi lagi!”

 

Mahez tertawa canggung sembari memasukkan tangannya ke saku celana. “Buruan jalan, ntar kesorean.”

 

“Siap boss!” Ariana segera mensejajarkan langkah pemuda yang lebih tua setahun darinya itu. Mereka berjalan berdampingan sambil sesekali mengobrol ringan ke tempat parkir untuk mengambil motor.

 

***

 

Tiba di parkiran, Mahez sudah menyalakan mesin motor, siap melaju. Akan tetapi, melihat Ariana yang kesulitan naik karena roknya, ia pun membantu.

 

“Kamu naik, pegang pundakku buat tumpuan,” titah Mahez yang diangguki gadis itu.

 

Kaki kanan Ariana naik di pijakan mototr, tangan kanannya mencengkeram pundak Mahez, lalu ia sedikit mengangkat tubuhnya supaya bisa mencapai badan motor.

 

“Awas ati-ati, Ri,” ujar Mahez perhatian. Tangan kirinya mengulur ke belakang untuk menjaga tubuh Ariana supaya tidak jatuh. “Udah?”

 

“Udah. Jalan, Bang!”

 

“Dikira tukang ojek apa ya,” gumam Mahez yang disambut tawa renyah oleh Ariana.

 

“Pegangan, biar nggak jatuh.”

 

“Jangan modus ya, nanti dibilangin ke mama kalo berani modus!” ancam Ariana tegas ketika tangannya mulai mencengkeram ujung jaket Mahez.

 

“Astaga, nggaklah. Eh, bentar-bentar. Tanganmu awas!”

 

“Gimana si? Tadi katanya suruh pegangan?!”

 

“Bentaran doang, Ri.” Lantas Ariana melepas cengkeraman pada jaket warna maroon itu. Tak terduga, ternyata Mahez malah melepas jaket itu. Ariana sudah melotot, siap menyembur cowok itu dengan omelannya, tapi urung.

 

Omelan yang semacam: jangan modus! Lepas jaket biar apa? Biar aku pegangan di pinggang kamu? Pake lagi jaketnya! Dasar modus! Otak mesum!

 

“Nih jaketnya buat nutupin kaki.” Mahez mengulurkan jaket itu pada Ariana. Cewek itu terhenyak dan sempat kagum dengan perhatian Mahez, tapi hanya sebentar lalu lenyap ketika Mahez melanjutkan bicara, “Besok-besok pake rok panjang dong. Jangan pamer paha!”

 

Ariana memberengut, “Siapa juga yang pamer paha? Rokku aja masih sebatas lutut,” sahut Ariana sewot seraya merebut jaket itu kasar.

 

“Emangnya kalo kena angin nggak kesingkap?” sindir Mahez.

 

“Berisik! Diem aja deh!” sentak Ariana seraya melingkarkan lengan jaket di pinggangnya. Untungnya jaket itu agak panjang, jadi bisa menutupi sampai delapan senti di bawah lutut.

 

“Helmnya nih pake.”

 

“Nggausa. Helmnya Kak Mahez aja yang pake.”

 

“Tapi ini panas, Ri, nanti kamu kepanasan.”

 

Ariana tertegun lalu bibirnya melengkungkan kurva malu-malu. “So sweet.”

 

“Hahaha, nggak, bukan itu sih sebenernya. Nanti kalo ada polisi gimana, ya? Kamu sih nggak bawa helm. Apa minjem helm siapa dulu gitu ya hm.”

 

Bola mata Ariana langsung mendelik sebal. “HAHAHA, TAI MAS.”

 

“Haha, nggausah ngambek. Gitu aja ngambek, ckckck.”

 

Bomat*! Buru jalan!” (*: bodo amat)

 

“Iya-iya..”

 

***

 

Tak langsung pulang ke rumah masing-masing, Mahez dan Ariana memutuskan mampir ke kedai pizza lebih dulu. Pasalnya perut Ariana sudah berontak minta diberi makan.

 

“Yang isi cokelat enak loh, Kak,” pamer gadis itu sembari menggigit satu slice pizzanya.

 

“Enak punyaku, isi daging sama sayur kayak kebab. Kalo cuma isi cokelat sih, beli aja roti isi di kantin sekolah.”

 

“Minta satu donggg,” rengek Ariana dengan tatapan mata yang tak lepas dari potongan pizza milik Mahez.

 

Cowok itu menyodorkan piringnya, “ambil aja.”

 

Ariana menggeleng, “suapin!”

 

No no no! u r not child ya.”

 

But I’m more young than you. Aaa~ buruan suapin, kaaakk.” Ariana mulai merengek, membuat beberapa pengunjung mengalihkan perhatian padanya. Dan karena Mahez tidak suka menjadi pusat perhatian, alhasil ia mengangguk meski terpaksa.

 

“Yeay! Disuapin kakakkk!”

 

“Sstt. Malu, Ri!” Mahez langsung menutupi wajahnya dengan tangan karena pekikan Ariana barusan membuat banyak pengunjung menoleh mengamati mereka.

 

Ariana mempoutkan bibirnya, “yahh, abang malu karena Ariana hiks-hiks.”

 

“Udah-udah, nggak usah ngedrama. Jadi nggak disuapin? Kalo nggak yaudah.”

 

“Jadi jadi! Jadi dong, aaa~”

 

Mahez mengambil satu slice lalu melayangkannya menuju goa milik Ariana. Dan keisengannya muncul. Ketika Ariana siap menggigit, Mahez menarik-ulur pizza itu sehingga Ariana tak bisa melahapnya.

 

“Bangg, niat nggak si?! Ngeselinnn!”

 

Mahez tertawa melihat wajah Ariana yang tengah ngambek. Menggemaskan.

 

“Ngeselinn! Yaudah , aku nggamau sama kamu lagi!” Ariana membuang muka, berlagak ngambek, tapi tetap melirik.

 

Mahez mencoba menghentikan tawanya, tapi sulit. Jadi butuh beberapa saat untuk menormalisasikan suasana. “iya-iya, maaf. Sekarang serius ini, aa coba.”

 

“Nggamau!”

 

“Utututu, gitu ae ngambek si anaknya siapaa. Ayo mangap dulu. Kalo nggamau yauda, biar abang yang makan yaa.”

 

“Aaa..” Ariana langsung membuka mulutnya, membuat Mahez menahan tawa karena gemas. Ariana memang sering kekanak-kanakan, makanya Mahez suka menggodanya.

 

Ketika pizza itu sudah sampai di mulut Ariana dan sudah digigit, Mahez tetap memajukannya sampai saus dan potongan daging itu mewarnai sekitar bibir Ariana.

 

“Kak Mahez jail! Kin bête!”

 

Mahez terbahak sampai hampir mengeluarkan air mata karena melihat wajah cewek di hadapannya yang amat berantakan.

 

“Ketawa aja terus!” sengak Ariana sambil membersihkan wajahnya pakai tisu. “Ketawa sampe mampus!”

 

“Aduh, ngakak.. haha..” Mahez memegangi perutnya yang sakit karena terlalu keras tertawa.

 

“Ariana mau pulang! Sekarang!”

 

“Bentar, aduh, perut jadi sakit gegara ketawa.”

 

“AYO PULANGG!” Ariana sudah bangkit, tapi Mahez tetap bergeming di kursinya. “YAUDA, AKU PULANG NAIK TAKSI AJA!” Kemudian Ariana mengambil tas dan berjalan memunggungi cowok itu,

 

“Eh, iya-iyaaa. Jangan ngambek, Ri!” Mahez bergegas mengejar dan berhasil meraih lengan Ariana. “gitu ae ngambek, aku anter pulang kok, tenang aja.”

 

“Sekarang.”

 

“Iya, bentar, gara-gara ngejar kamu, kunciku ketinggalan di meja. Bentar ya, ngambil dulu.”

 

“Cepetan, gapake lama.”

 

“Iyaa, cerewet,” ujar Mahez sambil mengacak rambut Ariana bagian atas.

 

Tak berapa lama pun Mahez kembali. “yuk, Ri!”

 

Ariana mengangguk. Baru berjalan dua langkah, tungkai Mahez terhenti ketika ada yang memanggilnya. Seorang cewek yang rambutnya digerai, cantik sih, tapi bajunya ketat banget. Saat melihat lekukan tubuh cewek itu, Ariana langsung bergidik, merasa jijik.

 

“Apa kabar, Hez? Udah lama nggak ketemu.”

 

“Baik, Mbak. Sekarang kuliah di mana?”

 

“Di UGM, tapi cuti. Fokus sama modeling hehe. Kemaren juga abis dari Jakarta buat fashion show catwalk. Kamu gimana sekolahnya? Bentar lagi lulus kan ya, mau kuliah di mana?”

 

dan bla bla bla. Mereka ngobrol banyak hal sampai lupa ada Ariana di sana, yang menjadi obat nyamuk di antara Mahez dan cewek itu.

 

“Siapa sih, kak?” tanya Ariana—yang tanpa sadar menggunakan nada judes— ketika mereka berjalan menuju parkiran.

 

“Kakel SMA, namanya Mbak Oshy.. mantan gebetanku. Cantik ya?”

 

Ariana menghentikan langkahnya mendadak, menciptakan kebingungan bagi Mahez.

 

“Kenapa berhenti? Katanya pengen cepet-cepet pulang?”

 

Ariana bergeming. Tetap mematung meski Mahez berjalan mendahuluinya.

 

“Terus aku ini apa?”

 

Mahez berbalik, “hah?”

 

“Aku buat Kak Mahez itu apa?”

 

“Maksudnya?”

 

“Arti aku buat Kak Mahez itu apa? Masih kurang jelas pertanyaannya?”

 

Mahez membisu.

 

“Jawab Kak!”

 

“Pertanyaanmu nggak masuk akal, Ri.”

 

“Nggak masuk akal gimana sih? Kalau si Oshy itu mantan gebetan kak Mahez, aku ini apa?”

 

“Nggak usah aneh-aneh, Ri. Aku kan—“

 

“Kak Mahez sendiri yang mulai!”

 

“Aku?”

 

“Nggak usah pura-pura nggatau, kak! Kak Mahez itu nggak bego, dan pasti masih inget!”

 

“Udah deh, Ri, pulang yuk.” Mahez hendak berjalan mengambil motornya, tapi tertahan oleh pekikan histeris Ariana.

 

“KAK MAHEZ SENDIRI YANG BILANG suka sama aku, bilang mau sama aku. Seandainya kak Mahez nggak bilang mau bikin aku baper, aku nggak bakal baper kak.”

 

Mahez tertawa canggung, “itu.. kamu terlalu baper, Ri. Aku nggak maksud—“

 

“MAKANYA! Maka dari itu, kalau tahu aku baperan, kenapa tetep bikin aku baper? Kenapa? Mau mainin aku? Kenapa? Aku kelihatan terlalu polos dan terlalu mudah dibohongi? Iya, gitu?”

 

“Ri, aku—“

 

“Kamu sendiri yang ngasih kode-kode gitu kak! Yang bilang jealous karna aku deket sama cowo lain, yang selalu anter-jemput aku, selalu ada sewaktu aku minta dateng. Kenapa harus ngelakuin itu semua kalau kak Mahez nggak suka sama aku? Hiks hiks..”

 

Ariana menggingit bibir bawahnya kuat-kuat, mencoba meredam suara tangisnya. Sejenak ia memejamkan mata, membiarkan likuid bening itu meluncur mulus di pipinya, lalu diusapnya air mata sialan itu dengan punggung tangan secara kasar.

 

“Jadi, apa arti aku buat kamu? Mainan? Pelampiasan? Pelarian? Tempat sewaktu bosen? APA? JAWAB!”

 

Mahez melangkah menghampiri Ariana yang kembali mengucurkan air mata sampai bahunya berguncang. Ia menyentuh pundak Ariana lalu menepuknya beberapa kali dengan sangat pelan.

 

“Udah Ri, jangan begini,” lirih Mahez.

 

Justru tangis Ariana semakin pecah. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan karena merasa malu dan bodoh. Bisa-bisanya ia terjerumus dalam lubang ‘cinta’ dan  harus menangis di tempat umum.

 

“Kenapa Kak Mahez harus mulai semuanyaa?”

 

Mahez menelan saliva, merasa bersalah. Lantas ia mengikis jarak dan menarik tubuh Ariana ke dalam rengkuhannya, mengusap-usap punggung gadis itu supaya tenang. Sejenak, tak peduli akan tatapan mencemooh dari orang-orang yang melihat.

 

“Maaf, Ri. Aku nggak maksud gini. Sama sekali nggak ada maksud mau nyakitin kamu. Aku akuin, awalnya semua ini cuma buat seneng-seneng, buat hiburan—“ Tangis Ariana membuncah lebih keras, membuat hati Mahez ikut ngilu.

 

“Aku bener-bener minta maaf, Ri. Aku emang brengsek, tapi.. cinta datang karna terbiasa kan? Dan kayaknya aku mulai nyaman sama kamu. Aku ngerasa harus selalu di samping kamu, harus jagain kamu, dan kurasa perasaan itu mulai tumbuh.”

 

“Tapi Ri, maaf, kita nggak bisa lebih dari ini. Ada batas yang nggak boleh kita langgar kan?”

 

Ariana meraung, meluapkan sakit di hatinya. “Kenapa Kak? Kenapaaa?” protesnya sambil memukul-mukul dada Mahez.

 

“Walaupun aku cinta sama kamu, papa nggak akan tinggal diem kalau tahu hal ini.”

 

“Kak Mahezz, hikss..”

 

“Lebih baik kita gini aja. Jangan sampai lebih dari ini. Itu nggak akan berhasil, Ri, percaya sama aku. Kita nggak akan direstui.”

 

Tangan Ariana berhenti memukul-mukul dada Mahez, dan kini melingkar di punggung cowok itu. Memeluknya dengan sangat erat, seolah enggan melepaskan walau sepersekian detik. Dan Mahez balas memeluk gadis itu, mengelus punggungnya bak tengah menyalurkan kekuatan lewat sentuhan itu.

 

Di dalam rengkuhan itu, Ariana menggeleng, “kalau di al quran aja kita boleh nikah, kenapa orang tua kita ngelarang?”

 

Mahez menempelkan dagunya di puncak kepala Ariana sambil menutup mata. Ia sendiri juga tak ingin mendapat garis takdir seperti ini. Kalau bisa, Mahez ingin merubahnya. Sayangnya, semua ini memang sudah ditentukan oleh Tuhan, tanpa ada satu pun manusia yang bisa merubahnya.

 

Mahez mempererat rengkuhannya sampai ia sendiri merasa sulit untuk bernapas saking sesaknya sakit di dada.

 

“Karena kita berhubungan darah. Meski hanya sedikit, kita tetap punya hubungan.”

 

-FIN.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Semesta Tak Merestui"

Post a Comment