Khilaf | 01. Pengakuan

KHILAF

01. Pengakuan


SOSOK jangkung itu berdiri di ambang pintu. Diam mematung memandangiku. Wajahnya tampak gelap dengan aura ketakutan. Sejenak aku hanya menatapnya. Namun setelah tiga sekon ia tak bersuara juga, aku pun memilih angkat bicara.

 

“Taeyong?”

 

Hanya dengan memanggil namanya, cowok itu langsung melepas knop pintu yang sedari tadi digenggam. Meninggalkan ambang pintu dan melangkah masuk ke ruangan bernuansa girly.

 

“Kenap—a?”

 

Ia mengulurkan lengannya lantas menarik punggungku supaya bisa ia dekap dengan mudah. Sontak dwimanikku membulat, terkejut dengan apa yang Taeyong lakukan. Ini tak seperti dia yang biasanya.

 

“Tae—”

 

“Kumohon jangan bicara apa pun.”

 

Setelah mendengar suaranya, aku tahu ia sedang dalam kondisi terpuruk. Audionya terdengar serak dan berat. Mungkin lelaki tangguh itu juga sedang menahan tangisnya susah payah supaya tak menodai reputasinya.

 

Kedua lenganku yang tadi berada di samping badan, pelan-pelan kugerakkan ke punggung Taeyong, mengusapnya pelan meski aku merasa agak gugup.

 

“Tidak apa-apa, Tae. Tidak apa-apa, kau akan merasa baikan.”

 

Kemudian, aku mendengar suara tangis yang memecah keheningan pukul 3.45 dini hari. Jelas aku syok setengah mati. Seumur-umur, aku tak pernah melihat cowok ini menangis. Sejak kelas satu SMA hingga masa kuliah sekarang, ia tak pernah terlihat sangat terbebani. Lantas ada apa dengannya malam ini?

 

Di sela tangisnya yang terdengar lemah, dapat kurasakan kehangatan air yang mulai merembes sweater abu-abu yang kukenakan. Lalu ia mulai tersedu, kubisikkan kata yang bisa menenangkannya. Ia memelukku semakin erat hingga sulit rasanya untukku bernapas. Ku tepuk-tepuk pelan punggungnya yang kian merunduk itu dengan sayang.

 

Sampai 20 menit, akhirnya tangis Taeyong mereda. Sosok lesunya duduk di tepi ranjang bersprei pink ketika aku kembali ke kamar sambil membawa segelas kopi hangat.

 

“Ini, minum dulu supaya kau merasa baikan,” ujarku sembari menyodorkan mug putih di hadapan Taeyong yang menunduk. Omong-omong, apa hanya perasaanku saja, sekarang Taeyong terlihat sangat gugup dengan kedua tangan yang saling memilin itu?

 

“Wen,” panggilnya amat pelan, nyaris tak terdengar.

 

“Jangan seperti ini dong, kau menakutiku.”

 

Memang benar. Aku lebih pilih melihat Taeyong yang berbuat seenaknya, bahkan mengobrak-abrik isi kamarku, daripada melihatnya murung seperti ini.

 

“Dih, kenapa kau malah semakin menakutkan sih? Angkat kepala bodohmu itu dan ambil kopimu!”

 

“Son, aku..”

 

“Sudah kubilang berapa kali, sih, jangan panggil aku dengan nama depanku! Aku nggak suka jadi—TAE!”

 

PRANK.

 

Dengan pergerakan tiba-tiba, Taeyong kembali merengkuhku. Menjatuhkan air kopi di karpet dan pecahan mug yang berserakan. Astaga padahal itu adalah mug kesukaanku, yang dibelikan Taeyong sebagai hadiah ulang tahunku bulan lalu. Aku akan terus mengumpatimu karena hal ini, Taeyong-ssi!

 

“Aku melakukannya.”

 

Suara itu teramat lirih. Membuat umpatanku tertelan, dan ragaku melunak.

 

“Aku melakukannya, Son.”

 

Kelopak mataku memberat. Tubuhku menjadi terasa sangat ringan seolah aku akan pingsan. Tidak kan? Yang dimaksud Taeyong bukan seperti itu kan? Senakal-nakalnya Taeyong, ia tak mungkin akan melakukan hal biadab seperti itu.

 

“Pada Seulgi.”                    

 

Sekarang aku tak yakin slogan itu masih berlaku untuknya.       

 

“Son, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku.. tak bermaksud melakukan itu, semuanya hanya kesalahan, aku—”

 

Taeyong menggigit bibir bawahnya. Lalu melepas pelukannya. Jemari kanannya ia gunakan untuk menutupi wajah yang entah akan ia taruh di mana setelah ini. Taeyong merasa hancur, sungguh.

 

“Aku nggak tahu apa yang sudah kulakukan, Son.. Aku nggak mungkin melakukan itu.”

 

Air mata Taeyong bergulir di wajah putihnya sebelum terjatuh di karpet. Bahkan aku pun tak percaya Taeyong akan melakukannya.

 

“Bagaimana kalau Seulgi sampai hamil?”

 

Mendengar kalimat jahanam itu membuat tenagaku yang sempat lenyap pun kembali. Kuraih tangan Taeyong yang mulai menarik rambutnya frustasi, lantas kugenggam erat-erat.

 

“Berhenti bicara ‘melakukan itu’! Memangnya apa yang kau lakukan? Aku yakin ini semua hanya jebakan. Siapa saja yang berada di sana malam tadi? Pasti cowok brengsek itu hanya ingin memanfaatkanmu, mengkambinghitamkanmu, Yong!”

 

Amarahku bergejolak. Belum pernah aku merasa semarah ini sebelumnya. Ya, aku yakin ini semua tidaklah benar. Pasti Taeyong dijebak seseorang. Pasti orang itu sangat membenci Taeyong makanya—

 

Taeyong menggeleng.

 

Apa?! Apa maksud gelengan itu, huh?

 

Kini aku yang pias.

 

“Hanya aku yang mengantar Seulgi ke kostnya. Hanya aku, Son, maaf.”

 

Tidak mungkin.

 

Jarum jam menunjuk pukul 4.50 pagi dan terus bergerak. Denting nyaringnya menjadi back sound ketika neraka mulai menyapa hidup kami.

 

Hidup yang memburuk, dan terus akan lebih buruk setiap sekonnya.

 

Bukan hanya aku yang merasa telah hancur atas kejadian ini.

 

Taeyong..

 

Seulgi, siapa pun dia, aku akan membuat hidupnya tak bahagia karena telah membuat Taeyongku merasa hancur.


[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Khilaf | 01. Pengakuan"

Post a Comment