KHILAF
02. Frustasi
HARI ini, genap
empat hari setelah Taeyong menyatakan penyesalannya. Sejak hari itu, ia
menginap di rumahku. Aku sih tidak masalah dia mau menginap sampai kapan pun.
Masalahnya, wajah Taeyong yang putus asa itu sangat menggangguku. Aku tak tahan
lagi harus melihatnya.
“Sudah
deh, aku yakin kok, tidak akan terjadi apa-apa,” ujarku sembari mengikat
rambut.
“Dari
mana kau tahu?” Taeyong bersuara sangat pelan. Ia masih berbaring di kasur
dengan bertelanjang dada.
“Em,
ya mungkin saja, kan?” Aku mengedikkan bahu.
“Berarti,
mungkin juga kan kalau Seulgi akan
hamil?”
Aku
mendengus. “Ambil positifnya aja kenapa sih?”
“Masalahnya,
nidurin dia bukanlah sesuatu yang positif.”
Terang
saja, aku setuju. Namun aku enggan memperumit keadaan dengan menyatakan
kesetujuanku. “Saat itu kan kau sedang mabuk, tidak sadar, kan? Ya sudah,
anggap saja itu khilaf.”
“Tapi
kalau dia ham—”
Aku
mengibaskan tangan di udara. “Sudah, aku nggak mau dengar. Aku berangkat dulu.”
“Bukannya
kelasmu dimulai jam sembilan?”
Oh,
rupanya Taeyong diam-diam juga mengingat hal kecil seperti ini, ya?
“Ada
hal yang harus aku cek. Lebih baik kau segera mandi, bau tahu. Dah!”
Kulangkahkan
kaki keluar kamar. Btw, aku tinggal
di sebuah rumah bertingkat satu yang tidak terlalu mewah. Nuansanya terlihat
sangat tua, apalagi di bagian ruang tengah. Aku tinggal seorang diri di sini.
Soalnya, orang tua ku tinggal di luar kota. Aku berada di kota ini untuk melanjutkan
sekolah, dimulai saat SMA.
Awalnya,
aku tinggal bersama paman dan bibiku, namun mereka harus pindah karena paman
ditugaskan oleh perusahaan ke luar kota. Berakhirlah, aku yang menempati rumah
ini sendirian.
“Wendy,
kok sudah datang? Bukannya jammu nanti sore, ya?” tegur Irene sembari menata
pakaian di gantungan.
“Mau
lihat beberapa barang yang baru datang, Eon,”
jawabku sembari menyunggingkan senyum.
“Oh
gitu, ya udah, langsung cek di gudang aja. Yang baru datang, tadi kutaruh di
paling kanan, ya.”
Kepalaku
mengangguk mengerti. Lantas, segera ku berjalan ke bagian belakang toko ini.
Jadi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku harus bekerja paruh waktu di
sebuah toko pakaian yang lumayan ramai ini. Jam kerjaku berubah-ubah,
menyesuaikan kuliahku. Untungnya sih, bosku baik dan pengertian jadi lumayan
mudah untuk mengatur jam kerjaku.
***
ANGIN malam
membelai tengkukku dengan mesra. Pukul 9.45 pm, aku baru pulang dari toko
setelah merapikan barang dan membersihkan gudang. Punggungku jadi terasa agak
pegal gara-gara harus mengangkati kardus. Sebetulnya, hari ini bukan jadwalku
piket, tapi karena merasa tak enak dengan karyawan lain, akhirnya aku membantu.
Pasalnya, banyak yang bergosip: bos pilih kasih, dan hanya mengutamakanku. Padahal
kan tidak begitu.
Oh
iya, Taeyong sudah makan atau belum, ya. Sebaiknya aku menanyakannya saja
deh. Kurogoh tas untuk mencari ponsel
dan mengiriminya pesan.
Wendyss: kau mau
makan apa, Yong?
Taeyo: nasgor
Oke.
Akhirnya aku mampir ke salah satu warung nasi goreng langgananku. Di sana,
masakannya benar-benar enak, bahkan aromanya saja sudah sedap banget.
Setelah
itu, aku menelepon ojek online.
“Wendy?”
Sontak
aku menoleh. Tepat di kananku sosok jangkung berdiri. Ia mengenakan kaos putih
yang berbalut jaket jins.
“Mau
ke mana?”
“Mau
pulang,” jawabku ramah.
“Rumah
kamu di daerah Brilliant Park, kan?”
“Kok
tahu, sih?”
Laki-laki
itu tertawa, menganggap pertanyaanku sebagai guyonan.
“Serius,
deh. Jangan-jangan kau penguntit, ya? Lagipula, aku tak mengenalmu,” tanyaku
setengah menuduh.
“Serius
nih? Padahal kita di kelas yang sama, loh.” Cowok itu terlihat sangat heran.
“Memangnya
iya?”
“Astaga,
jadi bener. Makanya kamu itu jangan hanya memperhatikan Taeyong dong! Lihat
juga sekelilingmu. Eh, jangan-jangan kau juga tak mengenal seisi kelas?”
Aku
mengelus tengkuk. “I-itu.. anu..”
“Astaga,
benar? Ya ampun, aku merasa sia-sia loh karena selama ini memperhatikanmu.” Di
akhir kalimat, cowok itu mengulas senyum yang tampak menawan serta tulus.
“Mbak,
yang mesan go-jek, ya?” tanya seorang laki-laki berjaket hijau menghampiriku.
“Oh,
iya, Mas.” Kemudian aku menoleh pada cowok itu lagi. “Saya duluan, ya.”
Ia
mengangguk dengan senyum yang tak pernah luntur. “Wen, tunggu dulu!”
Tungkaiku
refleks terhenti lalu kulihat cowok itu sudah berjalan menghampiriku. Kenapa
lagi sih dia? Padahal kan aku nggak kenal.
Ia
melepas jaketnya lantas memakaikannya di punggungku. “Jangan sampai kedinginan,
ya.” Dan mengedipkan satu matanya sebelum undur diri.
Ragaku
mematung.
Cowok
itu membuat jantungku berhenti berdegup sejenak.
“Mbak,
mau berangkat kapan?”
Kemudian
aku tersadar dari lamunan.
“Eh,
maaf, Mas. Ini saya naik, ya.”
***
ASTAGA, sudah
pasti cowok itu masih di kamar tanpa beranjak seinci pun. Buktinya rumahku
masih gelap gulita seperti ini.
Kudorong
knop pintu dan membiarkan tubuhku masuk. Gelap banget. Kurogoh saku dan
menyalakan senter di HP. Lalu mencari saklar lampu.
Tiba-tiba
ku lihat sebuah wajah berantakan yang tersorot senter sehingga aku terkejut.
Hingga terlonjak ke belakang dan hampir jatuh. Untungnya seseorang menangkap
tubuhku. Dan ini pasti Taeyong.
“Sudah
nyala.”
Ketika
ku buka mata, ruangan ini dipenuhi cahaya. Dan aku berada di pelukan Taeyong.
Hatiku
menjadi berdebar-debar. Dan mendadak atmosfer menjadi terasa sangat panas.
Kutatapi wajah tampannya seolah waktu berhenti berputar.
“Mau
sampai kapan kau seperti ini?” tegurnya dengan nada bicara datar.
“Eh,
maaf.” Segera kutegakkan raga dan merapikan rambutku.
“Nasi
gorengku?”
Dasar
Taeyong! Peduli sedikitlah padaku, masa hanya perutmu yang kau pedulikan. Huft.
“Nih.
Aku mau mandi dulu.” Kuberikan kresek hitam berisi nasi goreng padanya. Lalu
kutinggal ke kamar.
Setelah
selesai membersihkan diri, aku masuk ke kamar untuk bercermin. Kalau di rumah,
aku tak pernah memakai make up barang
sepoles, apalagi kalau malam begini. Di depan cermin besar ini, aku hanya
menyisir rambut dan mengamati wajahku.
“Hm,
ternyata aku cantik juga, ya,” pujiku. Maklum, nggak ada yang memuji. Makanya aku
sendiri yang muji kecantikanku. Haha.
Jangan
sampai kedinginan, ya.
Jangan
sampai kedinginan.
Jangan
kedinginan.
Ah.
Mendadak omongan pemuda tadi mengisi otakku. Astaga, ada apa denganku sih?
Padahal aku tidak mengenalnya. Masa iya aku jatuh cinta padanya? Tapi dia
tampan kok, kece pula, dan ramah. Ah, gila. Nggak mungkin. Pasti ini hanya
perasaan tersanjung yang berlebihan. Kalau bahasa zaman sekarang sih, baper.
Lagian,
kenapa sih Taeyong nggak pernah memujiku? Pasti matanya katarak deh!
“Son,
apa kau lihat boxerku?” tanya Taeyong
sambil menyembulkan kepalanya dari pintu.
“Memangnya
di lemarimu nggak ada?”
“Kalau
ada, aku nggak akan nanya.”
“Ya
sudah, aku carikan dulu di lemariku.”
“Hm,”
gumam Taeyong. Lalu main nyelonong aja dan rebahan di kasurku.
Aku
sibuk mengubrak-abrik isi lemariku. Dan akhirnya aku menemukan boxer abu-abu milik Taeyong. Maklum deh,
anak itu sering banget nginep di rumah ini. Jadi, banyak juga pakaiannya yang
mengisi lemari di kamar sebelah, bahkan lemariku juga. Hehe, maklum deh, aku
suka teledor dan malah menyimpan di lemariku.
“Nih,
Yong.”
Eh,
ketika aku menoleh, cowok itu malah sudah terlelap.
“Yong..
kau tidur?”
Tidak
ada sahutan. Kusimpulkan, dia memang sudah tidur.
“Ya
udah deh,” gumamku sambil menarik selimut ke tubuhnya. “Sleep well, Boy.”
Kemudian
ku putuskan untuk nonton TV di ruang tengah. Hingga tanpa kusadari, aku pun
terlelap.
0 Response to "Khilaf | 02. Frustasi"
Post a Comment