Nostalgia | Kenangan Dua

NOSTALGIA

Melupakan terkadang bisa menjadi sangat sulit dilakukan, entah karena kenangan itu terlalu bermakna, terlalu membahagiakan, atau terlalu menyakitkan. Namun bagi Asha, ia tak tahu kenangannya itu masuk dalam kategori yang mana.

 

Kenangan Dua: Tidak Semua Memprioritaskan Cinta

 

Aku dan Arjuna memiliki banyak sekali perbedaan. Kami besar di lingkungan yang berbeda. Juna dengan lingkungan yang menuntutnya aktif, kreatif, dan kritis. Juna yang memiliki pandangan politik berbeda denganku. Pandangan agama? Apalagi? Hampir semua aspek, kami tak memiliki kesamaan pemikiran.

 

Padahal awalnya kupikir kami sama.

 

Awalnya kukira kita bisa cocok dengan banyak aspek. Menjadi klop dan nyambung dalam bahasan apapun.

 

Rupanya tidak begitu.

 

Namun, aku belajar banyak hal darinya, dan aku masih ingin belajar darinya. Sehingga, aku harus berada di sisinya. Tidak boleh mundur karena pesimis bisa menyeimbanginya. Benar kan?

 

“Nih.” Juna menyodorkan selembar kertas berwarna merah padaku ketika aku baru saja keluar dari ruangan ekskul. “Hari Sabtu, jam tujuh, bisa kan?”

 

Aku memandangi sebuah tiket teater yang belum kuterima. “Malem?”

 

Juna terdiam sejenak sebelum mengode supaya kami berjalan bersama. “Ngobrol sambil jalan, takut ada yang liat.”

 

Arjuna, laki-laki yang selalu ingin menghindari keributan tidak berarti. Gosip mengenai Arjuna dan aku yang pacaran sudah menyebar luas. Tak jarang, orang-orang yang mengenal kami akan menyapa dengan selorohan yang agak menggangu. Arjuna tidak suka itu. Apalagi di ruangan ekskulku tadi, ada satu teman perempuan bermulut besar yang tak segan-segan berteriak “CIYE JUNA SAMA ASHA PACARAN CIYE.” dan ini sungguh mengganggu.

 

“Iya, malem. Nggak bisa?”

 

“Kamu kan tahu sendiri ayahku gimana.”

 

Terdengar eluhan darinya. “Nggak enaknya kalo pacaran tuh harus izin sama ortu, ribet,” gumamnya dengan suara pelan. Namun aku bisa mendengar. Entahlah dia berniat ingin memperdengarkannya padaku atau tidak. Tapi yang jelas, hatiku merasa gelisah.

 

“Kayaknya aku gak bisa. Kamu ajak yang lain aja. Udah sore, aku buru-buru pulang. Duluan, ya,” pamitku buru-buru. Bukan karena takut pulang terlambat, tapi kecewa dengan ucapan Juna membuatku ingin sesegera mungkin enyah dari sana.

 

“Sha! Sha!”

 

Aku malas menoleh. Meski aku mendengar panggilan itu, tungkaiku tetap berjalan menjauh tanpa ada keinginan berhenti untuk meladeninya.

 

“Nggak semua orang memprioritaskan cinta. Bagi beberapa orang, cinta itu kebutuhan sekunder bahkan tersier.”

 

Mungkin aku memang bukan prioritasnya, tetapi tidak bisakah Juna tidak berujar demikian di sampingku? Tidak mau meminta izin ayahku untuk mengajakku keluar.. apakah Juna adalah laki-laki yang baik seperti yang aku pikir selama ini?


[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nostalgia | Kenangan Dua"

Post a Comment