NOSTALGIA
Melupakan
terkadang bisa menjadi sangat sulit dilakukan, entah karena kenangan itu
terlalu bermakna, terlalu membahagiakan, atau terlalu menyakitkan. Namun bagi
Asha, ia tak tahu kenangannya itu masuk dalam kategori yang mana.
CIX's Bae Jinyoung as Arjuna | OC's Asha
Kenangan
Satu: Lelaki Pemberani
Selama
ini kamu hidup dalam lingkungan yang tak pernah membantah aturan mau bagaimana
pun aturan itu merugikanmu. Lantas bagaimana jadinya jika kau jatuh cinta pada orang
yang berbading terbalik denganmu? Dengan orang yang tak segan mengajukan surat
keluhan serta membuat gempar lingkungan demi mendapatkan keadilan?
Di sebuah
ruangan berAC, seorang laki-laki berkacamata memandangiku dengan wajah serius
dan dada menggebu-gebu. Namun sebaliknya, aku justru merasa gelisah karena
menganggap semua yang baru saja dikatakannya adalah sebuah kesalahan. Ini semua
tidak benar. Ya, aku harus berani mengutarakan pendapatku.
“Kamu
yakin mau demo? Mungkin aja kan kepala sekolah ngelakuin semua ini karena emang
lagi ngerencanain yang terbaik?”
Kening
laki-laki itu mengkerut. Ia memajukan tubuhnya, menatapku dalam. “Sekolah lain
udah jalan lima hari, Sabtu libur. Emangnya kamu nggak mau?”
Sepatuku
bergerak gelisah di bawah sana. Kepalaku tertunduk sambil tanganku mengusap
tengkuk. “Ya tapi apa harus demo? Gimana kalau kamu dicap jelek sama yang
lain?”
Embusan
napas yang terdengar seperti dengusan itu keluar dari rongga hidungnya. “Kamu
ngerasa nyaman sama sistem sekolah enam hari kita? Kamu ngerasa baik-baik aja
ketika temen-temen sekolah lain udah bisa leha-leha di hari Sabtu karena mereka
cuman sekolah lima hari?”
“Ya..ya,
enggak sih.”
“Banyak
temen-temen kita yang pengen sistem sekolah lima hari diaplikasikan semester
ini. Buat apa sih nunggu semester depan kalau bisa dimulai sekarang juga?
Sekarang gini lho, kita sistem enam hari sekolah tapi pulang jam tiga sore,
sedangkan sistem lima hari sekolah itu.. kita pulang jam empat sore. Selisih
sedikit kan? Mending mana coba?”
Aku hanya
diam mendengarkan bibir lihainya yang merangkai kata.
“Banyak
dari mereka yang sibuk sama kegiatan lain. Dengan sistem lima hari, mereka bisa
ngelakuin kegiatan di hari Sabtu dan Minggu dengan leluasa. Menguntungkan. Kita
hidup nggak cuman buat belajar di sekolah, tapi di tempat lain juga, di
organisasi luar.”
Entahlah,
aku merasa semua ini masih tidak benar. Semua ucapan yang dikatakannya hanya
seperti bualan bagiku. Apalagi ketika terlintas percakapan sepekan lalu
dengannya di dalam bus.
“Kegiatan
organisasiku diadain setiap hari Sabtu siang gara-gara sekolah temen-temenku
hari Sabtu udah libur. Susah akunya. Sekarang kalo mau izin BK susah. Terpaksa
aku jadi gak dateng, padahal aku ketua organisasi. Kacau banget. Kenapa kepsek
gak ngeberlakuin lima hari kerja di semester ini aja, sih?”
====
Lobi sekolah
sedang ramai oleh siswa-siswi yang berkerubung membantu Juna menempelkan
kertas-kertas berisi keluhan siswa di mading sekolah, ada juga yang ditempel di
luar kotak saran. Keluhan itu berisikan jiwa-jiwa kelelahan yang menginginkan
sistem lima hari kerja.
Dari
lantai dua, aku hanya bisa melihat riuhnya kondisi di bawah dan semua ini
berkat Arjuna, laki-laki yang tak kenal takut untuk menyuarakan aspirasi siswa.
Mengembuskan nafas yang terasa berat, aku melangkah masuk ke dalam kelas untuk
menenangkan diri. Namun, aku bertemu Resti di ambang pintu yang membuat
kekacauan di sebagian kecil otak dan hatiku.
“Sha,
kamu pasti bangga banget, ya, sama Juna. Dia berani nyuarain pendapat kita
semua. Aku salut banget. Kalo kayak gini sih, aku setuju kamu pacaran sama
Juna.”
Bangga?
Salut? Hal itu sama sekali tak terlintas di pikiranku. Meskipun tadi aku
membantu Juna membagikan kertas berwarna oranye yang menjadi media keluhan ke
beberapa kelas, hatiku masih tidak sreg dengan semua ini. Aku masih kurang
yakin apakah hal ini benar atau tidak.
Aku hanya
melempar senyum pada Resti lalu dia menarik lenganku. “Ayo ke bawah, ngasih
semangat buat Juna!”
Apakah
aku harus memberinya semangat?
Sampai di
lobi, aku melihat Juna dikerubungi banyak orang. Mereka mengucapkan segala
terima kasih dan rasa kagum pada Juna. Tak sedikit dari mereka meminta foto
dengan Juna. Padahal aku ingat sekali, sebagian besar dari mereka adalah orang
yang dulu menganggap Juna sebelah mata. Kupikir sekarang Juna sudah menjadi
pahlawan di mata masyarakat SMAku. Dia menjadi orang yang namanya dielu-elukan.
Akan
tetapi aku berdiri di sini. Membantu dengan perasaan tak keruan. Bangga?
Haruskah aku bangga dengan semua pemberontakan ini?
“Shaaa!”
“Eh,
iyak?”
“Ngelamunin
apaan sih? Diem-diem bae. Oh, cemburu Juna dikerubungin cewek-cewek?” duga
Resti sambil matanya menujuk keberadaan Juna. Mataku langsung bergerak
mengikutinya dan memang ada sepercik kekesalan yang hadir saat aku melihat Juna
tertawa dengan perempuan lalu berjabat tangan tanpa memudarkan senyum di
bibirnya. Dan yang paling menjengkelkan adalah fakta bahwa perempuan itu adalah
orang yang pernah disukai Juna.
“Hmm,
jangan mau kalah, Sha, sama si Sekar. Yuk ke sana!”
Tidak ada
yang tidak tahu bahwa Sekar adalah orang yang pernah Juna sukai. Ups, maksudku,
hampir seluruh anak di kelasku dan kelas Juna yang tahu fakta ini. Entah
bagaimana dengan anak-anak lain.
“Ey, Jun!
Ciyee, jadi pahlawan nihh. Haha. Selamat yak, udah jadi orang yang diagungkan
untuk saat ini. Haha.”
“Hahaha.
Kagaklah.”
“Bangga
sumpah sama lo. Foto yuk! Mau gue pamerin ke temen-temen gue kalo SMA gue punya
pahlawan kayak lo.”
Jantungku
terasa ditusuk jarum, nyeri. Bangga? Sebegitu bangganya Resti pada Juna? Tapi
mengapa aku tidak bisa merasakan bangga?
“Nah, iya
kan. Harusnya tuh bangga dan ngedukung,” ujar Juna yang kurasa ia tengah
menyindirku. Hufht.
Senyum
tipis kulemparkan pada Juna. “Aku juga bangga.”
Ya,
lidahku mungkin bisa melafalkannya, namun hatiku tetap merasa tidak puas.
===
Sejak
kejadian protes yang dipimpin Juna, lusa, sekolah langsung menerapkan sekolah
lima hari. Sabtu dan Minggu menjadi hari istirahat bagi siswa. Sampai beberapa
hari kemudian, guru-guru yang menentang kepsek, hadir menjadi pendukung Juna.
Pujian dari guru bertebaran di mana-mana.
Juna naik
daun dan semakin dikenal.
Dan aku
menjadi semakin merasa kecil di sampingnya.
Apakah
aku pantas berada di samping Juna?
0 Response to "Nostalgia | Kenangan Satu"
Post a Comment