Apa lagi yang lebih mengerikan daripada bertemu mantan?
Hari ini Chanyeol bangun lebih pagi dari biasanya. Ada
sesuatu yang mengusiknya, yang bahkan ia sendiri tak tahu apa itu. Mungkin
semacam firasat, atau memang hanya kebetulan. Ia menyeduh kopi dari coffee maker sembari menunggu roti
panggangnya matang di toaster.
Pengalaman hidup yang begini-begini saja. Yah, kau tahu, membosankan.
Bunyi ting
dari toaster menunjukkan bahwa
rotinya sudah siap masuk ke organ pencernaannya. Aromanya yang nikmat sangat
pas dimakan bersama kopi panas di pagi hari yang dinginnya sama seperti di
Antartika—oke, ini terlalu berlebihan. Chanyeol memilih duduk di sofa depan
televisi sambil membiarkan layar itu mulai memperlihatkan acara kartun.
Ia mencomot rotinya sambil menekan tombol remot
beberapa kali, namun sayangnya tak ada satupun yang cukup menghibur. Akhirnya,
ia pun membiarkan televisi itu tetap menyala untuk mengisi kekosongan di dalam
apartemennya, sedangkan ia sibuk membaca majalah lama yang ada di bawah meja.
Ting!
Kali ini bukan toasternya
yang berbunyi. Benda persegi panjang yang mengenakan casing bergambar pokemon
itu mengedipkan cahaya. Chanyeol melirik tanpa minat sama sekali, namun setelah
mempertimbangkan lagi, akhirnya ia menjulurkan tangan untuk meraih handphone
kesayangannya yang ada di atas buffet
mahoni.
Memotret lagi, gumamnya tanpa suara.
Chanyeol melirik jam dinding kayu yang melengkapi dua
lukisan bergaya impresionisme yang terpajang di dua sisi. Masih dua jam lagi,
bukan masalah bila aku sedikit lebih santai, pikirnya.
Ia memutuskan menghabiskan sarapan minimalisnya—kopi dan roti panggang—sebelum masuk ke
dalam kamar untuk merebahkan diri sebentar. Kau tahu, terkadang pekerjaan tak
seutuhnya menyenangkan. Yah, meskipun
didasarkan dengan hobi. Sama saja, pekerjaan selalu mengikat dan.. memuakkan?
EXO’s Chanyeol and OC’s Shayne | PG | Oneshot | Alkindi Artwork | Valaxyz,2016
Chanyeol tipikal orang yang suka kebebasan, bukan
berarti dia suka keliaran, anak-anak jalanan—anak punk mungkin? Itu terlalu liar dan bebas. Dan juga, ia tak suka
gaya-gaya anak muda sekarang, yang suka menghabiskan waktunya di club malam dan—yah, kau tahu, pergaulan
luas yang bebas. Chanyeol sangat menentang hal satu ini.
Ketika ia terbangun, waktu sudah sangat cepat berlalu,
ia kehabisan waktu untuk bersiap-siap sebelum berangkat ke kantor. Untungnya,
Chanyeol termasuk pria yang suka gosok gigi setelah bangun tidur, jadi ia tak
perlu memusingkan hal ini ketika ia memutuskan langsung ke kantor tanpa mandi
dulu.
Ia membawa kamera kesayangannya, tas kecil, dan dompet.
Hanya itu, pria selalu memilih hal-hal yang mudah, tidak seperti wanita yang
selalu super ribet. Oh, mungkin membasahi rambut sedikit bukan masalah, krim
rambutnya habis dan ia lupa membelinya. Kemudian saat melewati ruang TV, ia
menghitamkan layar hingga apartemen ini tak memantulkan bunyi apapun, kecuali
langkah sepatunya.
Chanyeol tiba di kantor tepat lima menit sebelum
waktunya, ia bernapas lega. Bos kurang ajar itu tak akan bisa memakinya,
setidaknya untuk hari ini. Ia keluar dari mobil silver kesayangannya dan melangkah santai sambil bersiul.
Ia membuka pintu dan mendapati bosnya tengah berdiri di
dekat jendela bersama seorang wanita. Keduanya menoleh pada Chanyeol, membisu
dalam sepersekian detik. Kemudian Pak Tua yang menjadi bos di studio fotografi
ini melangkah maju, mendekati Chanyeol dengan gaya yang dibuat-buat.
“Chanyeol, Nona Shayne adalah klien kita hari ini,”
ujar Pak Tua itu sambil mengayunkan tangannya ke arah wanita yang masih berada
di dekat jendela. Chanyeol melihat wanita itu, membisu sejenak sebelum
menyunggingkan senyum hormatnya. “Dia ingin melakukan pemotretan untuk cover
undangan pernikahannya,” lanjut Pak Tua yang ubannya sudah mencuat di
sana-sini.
Chanyeol sedikit terkejut mendengarnya, namun tak
semudah itu untuk menunjukkan perasaannya. Ia tetap memasang wajah profesional
sambil memberi ucapan selamat—walaupun
terdengar dipaksakan.
Lalu wanita yang diketahui bernama Shayne itu tersenyum
tipis sambil mengucap terima kasih. Ia merangsek maju, mengikis jarak antara ia
dan pria tinggi yang setia berdiri di ambang pintu.
“Bagaimana menurutmu, Nona Shayne?”
“Bagus, aku suka.”
“Oh ya? Benar, Chanyeol memang memiliki tampang
lumayan, hanya saja telinganya yang lebar sedikit merusak pemandangan,” balas
Pak Tua itu sambil mengekpresikan ketidaksukaannya pada Chanyeol dengan wajah
yang dibuat-buat.
Wanita itu tertawa kecil. Kemudian melihat wajah
Chanyeol yang sama sekali tak setuju dengan ucapan Pak Tua tadi. “Tidak, bukan
itu. Maksudku, aku suka foto-foto yang dia ambil. Semua bagus.” Ia sedikit
mengangkat album foto yang ada di tangannya. Lalu tersenyum pada Chanyeol.
“Aku ingin membuat konsep yang fantastis dan meriah,
namun berlokasi di alam, tepatnya pantai. Aku dan suamiku memutuskan melakukan
pemotretan di pantai, itu terkesan indah bila menjadi cover undangan kita, setidaknya aku merasa begitu. Bagaimana
menurutmu, Tuan Chanyeol?”
Ia terdiam sejenak, seolah tengah berpikir. Lalu
mengangguk singkat. “Ya, kurasa begitu.”
“Bagus, aku akan memberimu detail konsepnya dan kita bisa melakukan pemotretan secepatnya.”
Chanyeol hanya mengangguk menyetujui. Ya, lebih cepat
lebih baik.
“Bagaimana kalau sekarang? Sekalian kutraktir sarapan,
aku tahu restoran enak di sekitar sini, dan itu menjadi favoritku.”
Oh, dan siapa yang bertanya, Nona Shayne?
“Dan apa aku boleh ikut?” Pak Tua itu menawarkan diri
dan seketika langsung mendapat tatapan dari dua pasang mata—yang benar saja! Untuk apa kau ikut?
“Tapi kurasa, masih ada urusan yang menungguku. Jadi, Chanyeol, tolong jangan
kecewakan klien kita. Aku akan mengurus hal lain, jadi kalian silahkan
menikmati pembicaraan konsep pernikahan itu.”
Shayne tersenyum tipis sebelum meninggalkan kantor Pak
Tua itu, berbanding terbalik dengan Chanyeol yang langsung melengos pergi tanpa
sopan santun. Mereka berjalan depan-belakang. Tentunya, Shayne yang berjalan
lebih dulu. Pria setinggi tiang itu berada di belakang sambil sesekali
memeriksa kameranya.
Shayne berhenti mendadak, ia menelengkan kepala.
“Jangan berjalan di belakangku. Kau bukan bawahanku, jadi.. di sampingku saja.”
Chanyeol mengangkat sebelah alisnya hingga membuat
lengkung setengah lingkaran. Kalimat wanita itu sangat berantakan, namun tentu
Chanyeol masih bisa mencernanya dengan baik. Ia pun memperlebar langkah dan
mulai menjajarinya.
“Bawa mobil?”
“Ya.”
“Bagus, jadi kita tak perlu saling canggung dalam satu
mobil. Aku akan melaju duluan, dan jangan sampai kehilangan aku.”
“Aku tahu kau akan ke Mow’s Café.”
“Tepat,” kata Shayne yang langsung menuju di mana
mobilnya terparkir. Sedangkan Chanyeol masih memilih berdiri memerhatikan
wanita itu yang sudah memasuki mobil mewahnya. Jangan sampai kehilangan dia,
katanya? Chanyeol mendengus.
Hanya sepuluh menit dan mereka sudah duduk di salah
satu meja, saling berhadapan dengan dua cangkir teh yang berbeda aroma.
Chanyeol memesan jasmine tea,
sedangkan Shayne lebih suka green tea.
“Jadi, aku akan mengenakan dress putih dan—”
“Kenapa tidak merah? Kupikir kau suka warna itu.”
“Tidak, Hanbin lebih suka warna putih. Jadi, aku
menurutinya untuk memilih dress itu.”
“Bagus. Jadi, kau sangat menuruti ucapan calon
suamimu.”
Shayne melirik tajam pada pria di hadapannya yang
sedang menyeruput tehnya. Oke, jadi, kata-kata Chanyeol barusan mengores
kalbunya. Nada sinis sekali, seperti mengejek, dan iri—mungkin.
“Kenapa kau memilih Hanbin?” tanya Chanyeol setelah
beberapa detik keduanya saling membisu.
“Tentu saja karena ia tak pernah sekalipun
meninggalkanku,” balas Shayne sedikit menyindir.
“Tak pernah? Mungkin.. belum pernah, itu lebih pantas.”
“Hanbin tak pernah memintaku untuk menunggunya kembali.
Dia selalu datang sebelum aku menunggunya.”
Chanyeol mengangguk singkat. “Awal yang bagus.”
“Dia pria yang baik.. dan setia, itu pasti.”
“Setidaknya untuk sekarang, ya.”
“Lupakan omong kosong ini. Aku mengajakmu ke sini bukan
untuk memperdebatkan masalah ini.”
Chanyeol menyeruput tehnya lagi. “Oke. Jadi,
bicaralah.”
PHOTOGRAPH—VALAXYZ
Bagus sekali. Hari ini hari yang lebih menyebalkan
daripada hari-hari sebelumnya. Yah, meskipun Pak Tua itu tak memaki Chanyeol
habis-habisan, dan ia pun mendapat traktir makan yang lumayan, tapi bertemu
seseorang di masa lalu sungguh menyebalkan.
Chanyeol membanting punggungnya di atas ranjang
bersprei putih. Kedua lengannya saling menyilang di belakang kepala dan
dwimaniknya menatap lurus ke atap-atap. Ia menghembuskan napas yang terasa
sangat berat.
Shayne itu. Wanita yang tadi pagi ia temui di kantor
dan sekaligus yang mentraktirnya minum teh dan makan pagi yang lebih nyata—dibandingkan dengan roti dan kopi.
Rasa-rasanya ia mendapat kesan baru yang sangat asing. Shayne sudah banyak
berubah, pikir Chanyeol.
Ia mengubah posisi menjadi miring ke kanan, menghadap
jendela bertirai yang menghalau cahaya bulan merambat masuk. Shayne yang ini
sangat feminim, pikirnya lagi. Sangat menarik.
Chanyeol bangkit dari rasa bermalas-malasannya. Ia
masuk ke kamar mandi dan menggosok giginya di depan cermin besar. Lalu berkumur
beberapa kali dan mengusap wajahnya dengan air. Sialnya, ia selalu melihat
bayangan Shayne di dalam cermin itu, sehingga membasuh wajah menjadi lebih
penting daripada menyelami kasur empuknya.
Shayne. Buat apa dia kembali? Chanyeol mematikan keran
wastafel. Sekali lagi ia menatap cermin. “Selamat datang lagi, Shayne.”
“Selamat, kau sudah membuatku menyesal.”
PHOTOGRAPH—VALAXYZ
Pagi ini Chanyeol bangun agak siang. Ia
bermalas-malasan untuk berangkat kerja. Memotret pasangan, yang kali ini sangat
menjengkelkan. Serius, ini sangat menyiksa. Pukul delapan pagi ia sudah harus
tiba di lokasi, tapi gosok gigi pun belum ia lakoni sejak bangun tadi. Tiga
puluh menit lagi, waktu yang sudah mereka janjikan. Dan halo, Chanyeol belum
apa-apa dan perjalanan butuh setidaknya duapuluh menit.
Jadinya, Chanyeol mengganti pakaiannya dengan kaos
putih yang dibalut jaket jins hitam, celana jins senada, dan sudah siap
berangkat. Bahkan ia tak menggosok giginya pagi ini, tidak juga dengan mandi
ataupun sarapan. Apapun terasa tak menyenangkan hari ini, jadi beginilah ia:
sedikit bau mulut, bau badan, dan kurang rapi, lapar pula.
“Kau terlambat limabelas menit,” ketus pria berjas
hitam yang duduk di salah satu gazebo. Ada dua porsi kelapa muda di meja. Tapi
tak terlihat adanya orang lain di sana.
“Di mana Shayne?”
“Kenapa kau bertanya?” Hanbin menatapnya tajam dan
ketus.
“Kita harus mulai memotret, jadi cepat bawa dia ke
mari.”
“Pilihan yang seratus persen benar untuk
meninggalkanmu. Shayne beruntung tak terlalu lama terjebak dengan pengatur
sepertimu.”
Oh, bagus. Jangan mulai lagi. Perdebatan mungkin saja
terjadi, namun Chanyeol memilih diam dan mempersiapkan peralatannya. Dan, sial,
Shayne muncul bak bidadari ketika Chanyeol mencoba lensa kameranya. Kenapa pula
harus tubuh langsing Shayne yang masuk frame?
“Kau terlambat,” ujar Shayne menghampiri Chanyeol.
“Maaf.”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti. Pasti butuh seseorang
yang membangunkanmu kan? Tidak masalah, aku paham itu.”
Chanyeol mengernyit. “Sebenarnya tidak juga. Aku hanya
sedang ada sesuatu, jadi sekali lagi, maaf karena terlambat.”
Shayne mengangguk. “Bisa kita mulai? Semakin siang akan
semakin panas.”
“Tentu.”
Shayne dan Hanbin mulai masuk ke dalam frame, membuat
beberapa pose yang elegan dan serasi, dan mesra, tentu. Chanyeol membidik
beberapa gaya mereka. Awalnya ia tak bisa fokus mengingat moodnya sedang buruk sejak hari pertamanya bertemu Shayne di
kantor. Tepat tiga hari lalu.
Ia menghela napas. Fokus, Chan.
Beberapa potret terakhir terambil begitu sempurna dan
Shayne menyukai beberapa di antaranya. Terutama saat wajah Shayne dan Hanbin
saling berdekatan. Dan Chanyeol sangat benci pose itu, sangat.
“Terima kasih sudah membuat hasilnya bagus, Chan.”
“Aku memang ahli.”
“Tentu saja, itu harus. Karena kau sudah meninggalkanku
demi ini semua. Ingat saat SMA?”
Chanyeol menelan ludah. Bagaimana ia tak ingat? Itu
adalah keputusan yang sangat berat yang diambilnya. Pergi ke Amerika dan
meninggalkan kekasihnya, hanya demi fotografi. Katanya, keliling dunia akan
membuat seorang fotografer menemukan hal lain yang mencengangkan, jadi aku
harus pergi. Itu alasan aneh yang pernah didengar Shayne. Sesungguhnya, alasan
apapun supaya bisa meninggalkanya adalah alasan teraneh di dunia yang pernah ia
dengar. Itu karena ia enggan ditinggal walau sehari, pasti rasanya seperti
bertahun-tahun.
Dan sekarang Chanyeol mulai merasa menyesal. Melihat
wajah Shayne lagi membuatnya rindu, sangat.
Angin meniup anak rambut Shayne berulang kali. Dan
betapa gemasnya Chanyeol ingin mengikat rambut panjangnya yang menjuntai hingga
punggung, seperti dulu.
“Shayne, apa kau lapar?” tanya Hanbin yang merusak
suasana. Chanyeol langsung memalingkan muka begitu melihat Hanbin yang sok
perhatian pada Shayne sambil melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu.
Shayne mengangguk sambil tersenyum malu. “Aku makan
banyak akhir-akhir ini, apa itu baik-baik saja?”
“Tentu, asal kau sehat.”
“Omong kosong,” gumam Chanyeol geram. Untungnya, tak
terdengar oleh telinga sepasang calon pengantin itu.
“Chan, ingin bergabung?”
“Tidak, dan terima kasih, aku sudah makan.”
“Baiklah, kami duluan.”
Ya, sana pergilah! Chanyeol memandang geram pasangan
itu. Dan Hanbin tentunya, dia sangat pintar mencari kesempatan. Menjengkelkan.
Tahu tidak? Chanyeol sebenarnya belum makan dari kemarin, dan sekarang ia
sangat lapar.
—fin
0 Response to "Photograph"
Post a Comment