Seulgi — Jaehyun | PG | Comfort | Ficlet
===============
You watch me bleed until I can't breathe
I'm shaking, falling onto my knees
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches
Tripping over myself,
Aching, begging you to come help
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches
I'm shaking, falling onto my knees
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches
Tripping over myself,
Aching, begging you to come help
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches
===============
Perasaan yang dahulu hanya
sebuah khayalan tak bermakna yang akan terhapus ketika sadar kembali. Kini aku
dapat merasakannya. Suka yang berubah menjadi lebih menyenangkan melebihi hadiah
sejuta dolar. Sesuatu hal yang mampu mengubah gaya hidup. Segala aktivitas yang
biasanya membosankan berbalik menjadi hal yang paling menyenangkan. Aku selalu
menunggunya datang.
Aku tahu betapa malasnya untuk bangun pagi tatkala
tiada satu pun motivasi. Jangankan menginjakkan kaki di ‘sekolah’,
memikirkannya saja sudah membuat mood
menjadi down. Namun nyatanya ada satu
hal yang membuat hal itu berubah. Setiap pagi, tanpa adanya campur tangan orang
tua yang membangunkan, mata ini selalu terbuka dan selalu terasa segar. Tanpa
dipaksa, kakiku akan berjalan riang mempersiapkan diri untuk ke sekolah dengan
kicauan ria khas orang yang bersemangat.
Adalah cinta.
Kata yang selalu kudambakan selama ini. Akhirnya dapat
juga kurasakan betapa manisnya kata itu. Betapa bahagia dan bermaknanya tatkala
mengenal kata cinta yang sesungguhnya. Aku rasa, aku telah jatuh terlampau
dalam pada kemanisan cinta tanpa mampu memikirkan hal lain. Termasuk kata ‘perpisahan’.
“Jaehyun,” suaraku tercekat memanggil nama pemuda yang
berdiri memunggungiku. Rambut blonde
kecokelatannya membuat mataku perih hingga berkaca-kaca dan merah.
Semilir angin dapat kurasakan membelai wajahku lembut,
namun tak dapat membuatku nyaman dengan sapuan itu. Siulan udara yang
menerbangkan anak rambut hitam legam hingga berantakan pun tak ku hiraukan sama
sekali.
“Maaf, Seulgi,” ujar pemuda yang masih setia
membelakangiku. Suaranya terdengar mulus, datar, tanpa nada sedikitpun. Ada apa
dengannya? Mengapa tiba-tiba berubah dingin seperti salju di Antartika?
Likuid bening menembus pelupuk mataku. Bergulir
melewati wajahku yang sudah pucat.
Semuanya sia-sia.
Aku terisak dalam tangis memalukan ini. Aku menangis!
“Jaehyun, aku—“
“Sekali lagi, maaf,” Jaehyun menyerobot jatah
kalimatku. Ia meminta maaf padaku. Ya, memang benar, dia meminta maaf padaku,
tetapi tanpa rasa menyesal sedikitpun. Bagaimana bisa dia bersikap seperti
ini?!
Air mata semakin deras membanjiri wajahku. Seberapa keras
aku menahan supaya mereka tak tumpah, semua itu sia-sia. Seberapa kuat aku
menggigit bibir bawahku, percuma saja, suara sesenggukan akan tetap terdengar.
Sesegera mungkin aku mengusap wajah, menghapus air mata, tetapi air itu akan
muncul lagi, lagi, dan lagi. Aku lelah.
Jaehyun melaju meninggalkanku. Langkah santai dengan
kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Dia bersikap seolah-olah dia itu
keren dan sama sekali tak bersalah.
Suaraku tercekat. Aku tak lagi dapat memanggil namanya.
Hanya suara tangis yang dapat keluar. Hanya air mata yang dapat melukiskan
betapa sakitnya perasaanku saat ini. Hanya tanah yang tahu betapa lemas dan
bergetarnya kedua tumpuanku. Hanya angin yang dapat merasakan kedinginan dan
kehampaan hati ini.
Hatiku menjerit.
Sebuah jerit kesakitan.
Aku sudah pernah merasakan luka, tapi tiada yang
membekas hingga seperti ini. Kata-kata Jaehyun membuatku teriris oleh sayatan
pisau yang dalam. Nadi ini berdetak sangat lemah. Dadaku sesak. Aku butuh
seseorang untuk menarikku dari kesesakkan ini. Aku butuh seseorang untuk
memberikan udara dan kehidupan.
Akan tetapi, seseorang itu malah pergi meninggalkanku.
Aku sendirian.
Kini aku bertumpu pada lutut dalam kelemasan. Seluruh
ragaku roboh. Luruh bersama tanah. Semua telah hancur seperti kepingan kaca
yang tajam. Aku menangis, tapi siapa yang peduli? Kala hati dan ragaku serapuh
ini, engkau malah tetap berjalan pergi tanpa berbalik ataupun menoleh. Di mana
hati nuranimu?
Suara tangis kembali berpendar dalam untaian udara yang
kasat mata.
Tak inginkah engkau berbalik dan menemuiku lagi?
Tidak, aku rasa tidak. Kau hanya berhenti dan mematung.
Hanyut dalam pikiranmu sendiri.
Aku di sini, sangat rapuh tanpa oksigenku. Yaitu kamu.
Jaehyun, kau adalah alasan setiap hembusan napas ini.
Kau berbalik dan memandangku seolah aku kasta rendahan.
Mengapa kau berubah? Mengapa kau seperti ini padaku? Kau hanya diam
memperhatikanku yang tengah berdarah-darah. Terluka. Hati ini tertusuk jutaan
jarum tajam yang membuat nyeri dan ngilu, tidakkah kau tahu?
“Seulgi!”
Seruan itu menyeruak ke dalam gendang telingaku. Aku
mendengarnya. Namun sama sekali tak berniat untuk tahu siapa gerangan.
Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundakku dan satu tangan menggenggam
tanganku hangat.
Namun kehangatan itu tak sama seperti yang kau berikan
padaku. Satu-satunya penghangatku di kala musim dingin tiba, hanya kau. Tiada
yang lain.
“Gwaenchanha?”
(kau tidak apa-apa?)
Suara itu kembali menyiratkan nada khawatir, namun aku
tetap setia memandangmu yang masih terpaku dalam posisi dinginmu. Dia—Winwin, sahabatmu—membantu tubuhku untuk
berdiri.
Akan tetapi tak ada yang bisa membuat tenagaku kembali,
kecuali dirimu.
Seberapa kuatnya orang ini, aku hanya bisa bangkit
dengan uluran tanganmu saja.
“Penghianat.”
Suara tegas Jaehyun menyeruak di telingaku. Seakan
angin telah membawa suara itu kepadaku. Sepersekian detik berikutnya, kau
kembali berbalik dan bergerak lebih jauh meninggalkanku. Oh, ada apa?
Hatiku kembali merintih. Kengeluan ini, kapan ujungnya?
Tanganku terulur berupaya meraih tubuh Jaehyun. Tanpa
sadar aku telah berlari mengejarnya. Namun mengapa Jaehyun enggan berhenti dan
menjelaskan semuanya padaku?
Aku berlari. Sebuah batu kecil hampir membuatku
terjatuh. Berkali-kali aku tersandung. Hampir roboh. Aku kehilangan
keseimbangan.
Aku seperti tersesat.
Aku seperi orang bodoh!
“Jaehyun!” seruku parau.
Tubuh Jaehyun berbalik dengan enggan dan langsung memberikanku
tatapan penuh emosi, “Kubilang kita PUTUS,” tegasnya sekali lagi. penuh
penekanan di setiap kata, terutama kata terakhir. Kata yang enggan kudengar
dari mulutnya.
Tubuhku membeku. Seketika lututku bergetar hebat. Aku
jatuh berlutut tepat di hadapan Jaehyun.
Tidakkah kau kasihan padaku?
Mengapa harus mengakhiri hubungan manis kita? Kau,
hanya kau satu-satunya harapan hidupku.
Aku seperti terseret dalam lubang kegelapan yang
tiba-tiba terbakar api. Panas. Sakit. Semua rasa menyakitkan itu membakar
tubuhku. Mengurung ragaku dalam selimut api. Aku hangus. Aku menjadi debu. Aku
tak bisa bernapas.
Aku sekarat. Namun kau tetap tak mempedulikanku.
Kumohon,
kembalilah. Aku sangat mencintaimu.
—fin
0 Response to "[NCTVELVET] Incredulita"
Post a Comment