I’m Hurting at All: Regret


Aisha, Jessi, Aldi | comfort | PG | Chapter |
Crystalzarra
©2014

Ujung bibir Dinda berdarah akibat pukulan pria itu. Dinda merintih, tapi tekadnya untuk membantu Jessi lebih besar, jadi ia tetap melawan tanpa menghiraukan dirinya yang terluka. Telapak tangan Angel terluka akibat terlalu erat menggenggam ujung besi yang memiliki ketajaman. Besi itu pun terlepas dan menggelinding jauh hingga berhenti di samping tubuh Andre yang masih tergeletak.

“Lepas! Lepaskan!” Jessi kembali meronta dengan air mata yang berlinang.

Buk!

Genggaman pria itu mengendur dan akhirnya terlepas. Jessi langsung menoleh dan mendapati Andre dengan tubuh penuh luka sedang membawa besi. Pria itu roboh dan tergeletak di trotoar. Mata Jessi semakin berlinang karena terharu.

Andre tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang tersusun rapih. Kemudian keseimbangannya mulai goyah dan ia kembali roboh seperti sebelumnya.

“ANDREE!!” teriak Dinda dan Angel kompak. Mereka berlari mendekati tubuh Andre.

Jessi hanya diam tak bergeming melihat Angel dan Dinda sedang berusaha menyadarkan Andre. Air matanya terus menetes. Tak disangka, ketiga orang yang tadi dibentaknya saat di halaman sekolah, ternyata berbaik hati mau menolongnya. Bodoh, Jessi merasa bahwa dirinya amat bodoh. Tak sepantasnya Jessi menjawab ajakan mereka dengan ketus. Seharusnya ia menjawab dengan lembut dan menolak dengan baik-baik.

Tidak ada waktu untuk menangis dan menyesali. Jessi segera menghapus air matanya. ia segera menelepon ambulance.

***

“Bagaimana keadaan temanmu? Apakah ia terluka parah?” tanya Aisha khawatir

“Aku tidak tahu. Aku langsung pulang.” Sahut Jessi acuh

“Jessi bisakah kamu merubah sikapmu? Kamu terlalu acuh dan tidak peduli kepada mereka. Seharusnya kamu meminta maaf atau sekedar berterima kasih. Kamu bahkan tidak berniat untuk menungguinya sampai sadar. Teman macam apa kamu ini?”

“Kak.. aku lelah. Bahkan kakak tidak tahu apa yang telah terjadi padaku hari ini. Berhentilah mengomel dan siapkan saja makan malamnya. Aku ingin mandi.”

Kadang ingin sekali Aisha membunuh adik satu-satunya itu. Tapi karena mengingat hanya Jessi yang ia miliki sekarang ini, Aisha terus menahan amarahnya dan terus berusaha sabar menghadapi kelakuan adiknya tersebut. Setelah mengatur nafas untuk meredakan emosinya, Aisha bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk hari ini.

Em.. tapi apa yang telah terjadi dengan Jessi hari ini? Apakah dia hampir diculik? Entahlah, lebih baik aku segera menyiapkan makan malam sebelum ia turun dari kamarnya.

Jessi menutup pintu kamarnya. Ia menghambur ke atas ranjangnya untuk membuang penat sebentar. Setelah dirasa cukup, ia bangkit dan menyempatkan diri untuk berdiri dihadapan cermin besar yang berada di samping lemari pakaiannya.

Ternyata cengkraman pria tadi hebat juga ya. Kulitku sampai luka dan mengelupas begini. Huh kemana perginya si brengsek itu ya? Apakah aku harus melaporkannya kepada polisi setempat atas gugatan ‘memperjual-belikan manusia’? hmm sepertinya sangat tidak penting.

Jessi masih sibuk mengamati lengannya. Beberapa detik kemudian ia langsung mengambil handuk mandinya dan berjalan memasuki kamar mandi.

Setengah jam kemudian Jessi keluar dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Dengan kaos rumahan biasa dan celana pendek yang tak melebihi lutut, rambut yang ia biarkan tergerai karena masih basah, dan sandal berbulu micky mouse favoritnya, Jessi menuju meja makan.

Drrtt drrtt…

Di tengah makan malam yang tenang, tiba-tiba ponsel Jessi bergetar. Dengan malas-malasan ia meraih ponsel yang tadinya ia biarkan di atas meja makan.

“Siapa Jess?”

“Entah. Nomor tidak dikenal.”

“Tunggu! Coba angkat saja. Siapa tau ada hal penting.”

Aisha menahan jemari adiknya yang hendak mematikan telepon. Jessi hanya menatap kakaknya sekilas dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

“Jessi kamu harus segera kemari. Ia sudah sadar dan hal pertama yang ia ingin kan adalah bertemu dengan kamu. Tolong cepatlah kemari.”

“Tunggu dulu, ini siapa seenaknya menyuruh orang.” Omel Jessi sebal

“Aku Dinda dan yang tadi ku maksud adalah Andre. Ia sangat ingin bertemu dengan kamu. Ia ingin melihat wajah kamu. Dia bilang, ia ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja.”

“Siapa Jess?”

Jessi melirik kakaknya sekilas, “Lupakan. Aku tidak akan kesana.” Kemudian ia menutup telfon.

“Kenapa kamu tutup?”

“Itu tidak penting, dan bukan urusan kakak. Diamlah dan makan saja.”

“Pasti dari teman mu kan? Bagaimana keadaan salah satu teman mu yang kritis itu? Apakah ia sudah sadar? Apa kamu tidak ada niat untuk menjenguknya? Mungkin dia menghawatirkan kamu dan ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja? Lebih baik kamu kesana.”

“Diamlah kak. Aku sedang makan, tolong jangan ganggu aku.”

Sejak sepeninggalnya Ibu, Jessi berubah drastis. Kenapa ia harus menjadi anak yang tak peduli terhadap sekitarnya? Kenapa ia menjadi anak yang tak bisa menghargai orang lain seperti ini? Padahal dulu.. ia sangat peduli, periang dan suka membantu. Ah Ibu, kenapa harus pulang lebih dulu? ini terlalu cepat.

“Kamu yakin tidak ingin menjenguknya?” Aisha kembali bertanya untuk memastikan.

“Kakak ini kenapa sih? Sudah ku bilang aku sedang makan, mengganggu selera saja!” suara Jessi meninggi membuat kakaknya mengkerut. Ia langsung mendorong kursi dan meninggalkan ruang makan.

Aisha menatap adiknya hingga hilang dari balik dinding tikungan kamarnya. “Apa aku ini salah? Kenapa Jessi begitu sensitive padaku?”

Aisha menoleh ketika mendengar suara telepon rumah yang berbunyi. Ia segera bangkit dan menerima telfon.

“Halo selamat malam. Dengan kediaman Aisha dan Jessi keluarga Seo. Ada yang bisa saya bantu?”

“Halo, maaf bisa bicara dengan Jessi. Saya temannya.”

“Oh, maaf sepertinya Jessi sedang tidak bisa diganggu. Ia sedang kehilangan mood.”

“Oh begitu ya. Kalau begitu, bisa saya minta tolong?”

“Ya, tentu saja.”

“Tolong sampaikan kepadanya. Tolong datang kepemakaman Andre besok pagi pukul Sembilan di tempat pemakaman umum. Oh ya, tolong sempatkan datang ke rumah Andre terlebh dahulu ya. Kita akan memanjatkan doa untuknya. Sampaikan juga tolong sempatkan untuk berkunjung. Ada hal yang ingin disampaikan. Terima kasih.”

“Tentu saja akan ku sampaikan semuanya. Apakah Andre adalah orang yang tadi sempat menolong Jessi?”

“Iya. Dia yang telah menolongnya. Baiklah, sekian dan terima kasih ya.”

“Ya.”

Tut tut..

Sambungan telepon telah terputus.

“JESSIIII!!” teriak Aisha

Jessi menutup telinganya rapat-rapat. Ia baru saja hendak beristirahat diatas ranjangnya, tapi suara nyaring kakaknya telah merusak semuanya. Ia terpaksa harus bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu secara kasar.

“Ada apa?!”

“Teman mu.. ia telah tiada. Tolong datang kepemakamannya besok.”

“Siapa? Memangnya aku memiliki teman? Sepertinya tidak. Mungkin salah sambung. Abaikan saja, aku tidak akan datang.”

“Dia orang yang sudah menolongmu tadi.”

Jessi menatap kakaknya serius. Lengannya lemas di samping badan. Ia sangat tidak menyangka. Benarkah yang dikatakan kakaknya itu?

***

“Dimana Andre?”

“Jes..si?” Dinda dan Angel saling bertatapan.

“Dimana?!!” teriak Jessi

“Dia sudah dibawa ke.. sanaa.” Dinda menunjuk sebuah bangsal yang sedang didorong oleh beberapa petugas laki-laki.

Jessi berlari menghampiri bangsal tersebut dan berdiri didepan untuk menahannya. Beberapa petugas laki-laki itu menoleh dan bingung dengan sikap Jessi.

“Ada apa?”

Jessi membuka selimut yang menutupi wajah Andre. Astaga. Wajah laki-laki itu sangat pucat dan terasa dingin saat Jessi menyentuh pipinya. Padahal tadi sore ia masih terlihat sehat dan baik-baik saja. Lalu tubuhnya penuh dengan luka karena sudah menolongnya. Apa Jessi terlalu kejam?

Air mata Jessi tumpah tak terbendung. Setiap tetesnya mengalir dan akhirnya jatuh ke wajah Andre yang tergeletak tidak bernyawa diatas bangsal. Ia menangis tersedu dan terus merengek.

“Aku mohon.. kembalilah. Hidup seperti tadi. Aku bahkan belum berterima kasih kepadamu kan? Ayolah bangun. Aku janji jika kamu bangun, aku tidak akan bersikap dingin padamu. Hiks hiks.. aku.. memohon. Kamu harus tahu kalau aku tidak pernah memohon kepada seseorang pun sebelum ini.”

Jessi berhenti merengek. Ia menatap wajah Andre sekali lagi, lalu menutupnya dengan selimut. Ia berdoa dan membiarkan beberapa petugas laki-laki itu untuk kembali mendorongnya tapi kejadian itu terjadi tiba-tiba.


-to be continue


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "I’m Hurting at All: Regret"

Post a Comment