Ujung bibir Dinda berdarah akibat
pukulan pria itu. Dinda merintih, tapi tekadnya untuk membantu Jessi lebih
besar, jadi ia tetap melawan tanpa menghiraukan dirinya yang terluka. Telapak
tangan Angel terluka akibat terlalu erat menggenggam ujung besi yang memiliki
ketajaman. Besi itu pun terlepas dan menggelinding jauh hingga berhenti di
samping tubuh Andre yang masih tergeletak.
“Lepas! Lepaskan!” Jessi kembali
meronta dengan air mata yang berlinang.
Buk!
Genggaman pria itu mengendur dan
akhirnya terlepas. Jessi langsung menoleh dan mendapati Andre dengan tubuh
penuh luka sedang membawa besi. Pria itu roboh dan tergeletak di trotoar. Mata
Jessi semakin berlinang karena terharu.
Andre tersenyum memperlihatkan
gigi-giginya yang tersusun rapih. Kemudian keseimbangannya mulai goyah dan ia
kembali roboh seperti sebelumnya.
“ANDREE!!” teriak Dinda dan Angel
kompak. Mereka berlari mendekati tubuh Andre.
Jessi hanya diam tak bergeming melihat
Angel dan Dinda sedang berusaha menyadarkan Andre. Air matanya terus menetes.
Tak disangka, ketiga orang yang tadi dibentaknya saat di halaman sekolah,
ternyata berbaik hati mau menolongnya. Bodoh, Jessi merasa bahwa dirinya amat
bodoh. Tak sepantasnya Jessi menjawab ajakan mereka dengan ketus. Seharusnya ia
menjawab dengan lembut dan menolak dengan baik-baik.
Tidak ada waktu untuk menangis dan
menyesali. Jessi segera menghapus air matanya. ia segera menelepon ambulance.
***
“Bagaimana keadaan temanmu? Apakah ia
terluka parah?” tanya Aisha khawatir
“Aku tidak tahu. Aku langsung pulang.”
Sahut Jessi acuh
“Jessi bisakah kamu merubah sikapmu?
Kamu terlalu acuh dan tidak peduli kepada mereka. Seharusnya kamu meminta maaf
atau sekedar berterima kasih. Kamu bahkan tidak berniat untuk menungguinya
sampai sadar. Teman macam apa kamu ini?”
“Kak.. aku lelah. Bahkan kakak tidak
tahu apa yang telah terjadi padaku hari ini. Berhentilah mengomel dan siapkan
saja makan malamnya. Aku ingin mandi.”
Kadang ingin sekali Aisha membunuh adik
satu-satunya itu. Tapi karena mengingat hanya Jessi yang ia miliki sekarang
ini, Aisha terus menahan amarahnya dan terus berusaha sabar menghadapi kelakuan
adiknya tersebut. Setelah mengatur nafas untuk meredakan emosinya, Aisha
bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk hari ini.
Em.. tapi apa yang telah terjadi dengan
Jessi hari ini? Apakah dia hampir diculik? Entahlah, lebih baik aku segera
menyiapkan makan malam sebelum ia turun dari kamarnya.
Jessi menutup pintu kamarnya. Ia
menghambur ke atas ranjangnya untuk membuang penat sebentar. Setelah dirasa
cukup, ia bangkit dan menyempatkan diri untuk berdiri dihadapan cermin besar
yang berada di samping lemari pakaiannya.
Ternyata cengkraman pria tadi hebat
juga ya. Kulitku sampai luka dan mengelupas begini. Huh kemana perginya si
brengsek itu ya? Apakah aku harus melaporkannya kepada polisi setempat atas
gugatan ‘memperjual-belikan manusia’? hmm sepertinya sangat tidak penting.
Jessi masih sibuk mengamati lengannya.
Beberapa detik kemudian ia langsung mengambil handuk mandinya dan berjalan
memasuki kamar mandi.
Setengah jam kemudian Jessi keluar
dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Dengan kaos rumahan biasa dan
celana pendek yang tak melebihi lutut, rambut yang ia biarkan tergerai karena
masih basah, dan sandal berbulu micky mouse favoritnya, Jessi menuju meja
makan.
Drrtt drrtt…
Di tengah makan malam yang tenang,
tiba-tiba ponsel Jessi bergetar. Dengan malas-malasan ia meraih ponsel yang
tadinya ia biarkan di atas meja makan.
“Siapa Jess?”
“Entah. Nomor tidak dikenal.”
“Tunggu! Coba angkat saja. Siapa tau
ada hal penting.”
Aisha menahan jemari adiknya yang
hendak mematikan telepon. Jessi hanya menatap kakaknya sekilas dan menggeser
tombol hijau di layar ponselnya.
“Jessi kamu harus segera kemari. Ia
sudah sadar dan hal pertama yang ia ingin kan adalah bertemu dengan kamu.
Tolong cepatlah kemari.”
“Tunggu dulu, ini siapa seenaknya
menyuruh orang.” Omel Jessi sebal
“Aku Dinda dan yang tadi ku maksud
adalah Andre. Ia sangat ingin bertemu dengan kamu. Ia ingin melihat wajah kamu.
Dia bilang, ia ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja.”
“Siapa Jess?”
Jessi melirik kakaknya sekilas,
“Lupakan. Aku tidak akan kesana.” Kemudian ia menutup telfon.
“Kenapa kamu tutup?”
“Itu tidak penting, dan bukan urusan
kakak. Diamlah dan makan saja.”
“Pasti dari teman mu kan? Bagaimana
keadaan salah satu teman mu yang kritis itu? Apakah ia sudah sadar? Apa kamu
tidak ada niat untuk menjenguknya? Mungkin dia menghawatirkan kamu dan ingin
memastikan kalau kamu baik-baik saja? Lebih baik kamu kesana.”
“Diamlah kak. Aku sedang makan, tolong
jangan ganggu aku.”
Sejak sepeninggalnya Ibu, Jessi berubah
drastis. Kenapa ia harus menjadi anak yang tak peduli terhadap sekitarnya?
Kenapa ia menjadi anak yang tak bisa menghargai orang lain seperti ini? Padahal
dulu.. ia sangat peduli, periang dan suka membantu. Ah Ibu, kenapa harus pulang
lebih dulu? ini terlalu cepat.
“Kamu yakin tidak ingin menjenguknya?”
Aisha kembali bertanya untuk memastikan.
“Kakak ini kenapa sih? Sudah ku bilang
aku sedang makan, mengganggu selera saja!” suara Jessi meninggi membuat
kakaknya mengkerut. Ia langsung mendorong kursi dan meninggalkan ruang makan.
Aisha menatap adiknya hingga hilang
dari balik dinding tikungan kamarnya. “Apa aku ini salah? Kenapa Jessi begitu
sensitive padaku?”
Aisha menoleh ketika mendengar suara
telepon rumah yang berbunyi. Ia segera bangkit dan menerima telfon.
“Halo selamat malam. Dengan kediaman
Aisha dan Jessi keluarga Seo. Ada yang bisa saya bantu?”
“Halo, maaf bisa bicara dengan Jessi.
Saya temannya.”
“Oh, maaf sepertinya Jessi sedang tidak
bisa diganggu. Ia sedang kehilangan mood.”
“Oh begitu ya. Kalau begitu, bisa saya
minta tolong?”
“Ya, tentu saja.”
“Tolong sampaikan kepadanya. Tolong
datang kepemakaman Andre besok pagi pukul Sembilan di tempat pemakaman umum. Oh
ya, tolong sempatkan datang ke rumah Andre terlebh dahulu ya. Kita akan
memanjatkan doa untuknya. Sampaikan juga tolong sempatkan untuk berkunjung. Ada
hal yang ingin disampaikan. Terima kasih.”
“Tentu saja akan ku sampaikan semuanya.
Apakah Andre adalah orang yang tadi sempat menolong Jessi?”
“Iya. Dia yang telah menolongnya.
Baiklah, sekian dan terima kasih ya.”
“Ya.”
Tut tut..
Sambungan telepon telah terputus.
“JESSIIII!!” teriak Aisha
Jessi menutup telinganya rapat-rapat.
Ia baru saja hendak beristirahat diatas ranjangnya, tapi suara nyaring kakaknya
telah merusak semuanya. Ia terpaksa harus bangkit dari tempat tidur dan membuka
pintu secara kasar.
“Ada apa?!”
“Teman mu.. ia telah tiada. Tolong
datang kepemakamannya besok.”
“Siapa? Memangnya aku memiliki teman?
Sepertinya tidak. Mungkin salah sambung. Abaikan saja, aku tidak akan datang.”
“Dia orang yang sudah menolongmu tadi.”
Jessi menatap kakaknya serius. Lengannya
lemas di samping badan. Ia sangat tidak menyangka. Benarkah yang dikatakan
kakaknya itu?
***
“Dimana Andre?”
“Jes..si?” Dinda dan Angel saling
bertatapan.
“Dimana?!!” teriak Jessi
“Dia sudah dibawa ke.. sanaa.” Dinda
menunjuk sebuah bangsal yang sedang didorong oleh beberapa petugas laki-laki.
Jessi berlari menghampiri bangsal
tersebut dan berdiri didepan untuk menahannya. Beberapa petugas laki-laki itu
menoleh dan bingung dengan sikap Jessi.
“Ada apa?”
Jessi membuka selimut yang menutupi
wajah Andre. Astaga. Wajah laki-laki itu sangat pucat dan terasa dingin saat
Jessi menyentuh pipinya. Padahal tadi sore ia masih terlihat sehat dan
baik-baik saja. Lalu tubuhnya penuh dengan luka karena sudah menolongnya. Apa
Jessi terlalu kejam?
Air mata Jessi tumpah tak terbendung.
Setiap tetesnya mengalir dan akhirnya jatuh ke wajah Andre yang tergeletak
tidak bernyawa diatas bangsal. Ia menangis tersedu dan terus merengek.
“Aku mohon.. kembalilah. Hidup seperti
tadi. Aku bahkan belum berterima kasih kepadamu kan? Ayolah bangun. Aku janji
jika kamu bangun, aku tidak akan bersikap dingin padamu. Hiks hiks.. aku..
memohon. Kamu harus tahu kalau aku tidak pernah memohon kepada seseorang pun
sebelum ini.”
Jessi berhenti merengek. Ia menatap
wajah Andre sekali lagi, lalu menutupnya dengan selimut. Ia berdoa dan
membiarkan beberapa petugas laki-laki itu untuk kembali mendorongnya tapi
kejadian itu terjadi tiba-tiba.
-to be continue
0 Response to "I’m Hurting at All: Regret"
Post a Comment